REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai keinginan Mahfud MD untuk mundur sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) sulit terlaksana. Meski begitu, bukan berarti pernyataan yang diucapkan oleh calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 3 itu tak bisa terjadi.
Bivitri mengatakan, Mahfud pasti sudah membuat pertimbangan sebelum menyatakan akan mundur sebagai Menko Polhukam. Namun, posisinya saat ini agak sulit untuk bisa mundur dengan leluasa.
"Karena, jangan lupa, kalau ada menteri mundur pasti akan digantikan. Itu satu," kata Bivitri di salah satu kafe kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (25/1/2024).
Ia menilai, setiap menteri pasti ingin meninggalkan warisan tersendiri selama menjabat. Ketika penggantinya nanti bukan orang yang tepat, warisan yang telah disusun akan rusak.
Selain itu, ia menduga, Mahfud masih menghitung untung-rugi untuk mundur sebagai Menkopolhukam. Apalagi, ketika mundur, ia akan kehilangan informasi dari dalam lingkungan pemerintahan.
"Padahal Sekarang lagi gila-gilaan nepotismenya. Jadi mungkin, ini mungkin ya, hitungannya seperti itu. Itu akan dijadikan semacam senjata akhir, kalau situasinya sudah sedemikian buruk, maka dia bilang suatu saat saya akan mundur," kata dia.
Menurut Bivitri, Mahfud tidak akan membuat langkah mundurnya sia-sia. Artinya, kemundurannya itu harus membawa dampak politik.
"Kalau ramai-ramai menteri mundur misalnya ya, itu kan ada dampak politik ya. Jadi intinya kita harus baca ini sebagai move politik," ujar dia.