Kamis 18 Jan 2024 00:03 WIB

Sejarah Carok, Legenda Sakera, dan Dimensi Pidana Berbalut Hukum Adat

Sejarah carok di Madura terkait dengan legenda Sakera pada zaman penjajahan Belanda.

Senjata tajam untuk carok. (ilustrasi)
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Senjata tajam untuk carok. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono

Carok sulit dikenal sebagai adat istiadat, atau kebiasaan dalam penyelesaian permasalahan maupun konflik bagi orang-orang Madura. Doktor Hukum Mahrus Ali dalam jurnal hukum ‘Akomodasi Nilai-nilai Budaya Masyarakat Madura Mengenai Penyelesaian Carok dalam Hukum Pidana’ mengatakan, orang-orang Madura, seperti masyarakat pada umumnya, sudah sejak lama terbiasa menjadikan musyawarah sebagai koridor utama dalam penyelesaikan konflik individu, ataupun permasalahan yang sifatnya komunal.

Baca Juga

“Di dalam penyelesaian konflik, selalu diutamakan musyawarah, perdamaian, dan saling memaafkan, serta tidak tergesa-gesa menyerahkan persoalan ke peradilan negara,” demikian dikutip dari jurnal tersebut, Rabu (17/1/2024).

Pengutamaan jalur musyawarah tersebut, kata Mahrus Ali, diyakini karena masyarakat Madura akrab dengan ke-Islaman sejak lama. Ajaran Islam punya kontribusi signifikan membentuk kultur budaya orang-orang Madura. Sampai memunculkan defenisi Madura sudah pasti Islam.

“Sebuah gambaran yang menunjukkan bahwa orang Madura berjiwa agama Islam terdapat (dalam) ungkapan ‘abanthal syahadat, asapo iman, apayung Allah’,” kata Mahrus.

Ungkapan tersebut, bermakna dalam kehidupan orang Madura, menjadikan syahadat sebagai alas kepala, iman sebagai selimut, dan Allah SWT sebagai pelindung. Dalam kultur nonkeagamaan asli orang-orang Madura pun mirip dengan ke-takzim-an pemeluk Islam terhadap figur-figur tertentu. 

Orang Madura, dalam ‘Madura yang Patuh?; Kajian Antropologi Mengenai Budaya Madura’ karangan Doktor A Latief Wiyata mengatakan, empat figur utama dalam strata penghormatan orang-orang Madura, adalah ayah, ibu, guru, dan pemimpin.

“Keempat figur itu, adalah Buppa, Babbu, Guru, ban Rato,” kata Latief Wiyata.

Dia mengatakan, empat figur utama tersebut punya tempat penting dalam penghormatan, ketaatan, ketundukan, dan kepasrahan orang-orang Madura dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Penghormatan terhadap figur-figur tersebut membuat orang Madura menjadikan kesopanan sebagai sifat yang wajib ada.

Kesopanan itu pun bertali dengan pengajaran-pengajaran yang dekat dengan ke-Islaman. Sampai memunculkan ungkapan khas, ‘ta’tao batona langgar’. Istilah tersebut sebutan terhadap orang-orang yang tak pernah diajari, atau tak pernah mengaji, atau tak pernah belajar agama di masjid-masjid ataupun di pondok-pondok pesantren.

Begitu pentingnya nilai-nilai kesopanan dan agama bagi orang Madura, menjadikan hal tersebut sebagai bagian dari harga diri seseorang yang mutlak. Menurut Latief Wiyata, bagi orang Madura, harga diri adalah ukuran eksistensi pribadi. Orang-orang yang tak memiliki kesopanan adalah orang-orang yang tak belajar agama. Sehingga tak punya, dan tak mengakui harga diri orang lain. 

Orang-orang yang diperlakukan dengan tidak sopan oleh orang lain, bagi Madura, sama saja tak dihargai. Bahkan disebut seperti orang yang tak beragama. Orang-orang yang tak dihargai adalah bentuk perendahan. Bahkan disebut sebagai penafikan atas nilai-nilai agama terhadap seseorang.

“Oleh karenanya (bagi orang Madura), harga diri merupakan hal penting yang harus dipertahankan, agar tidak direndahkan,” kata Bambang Sambu Badriyanto dalam ‘Karakteristik Etnik dan Hubungan Antar Etnik’.

“Menghina agama (tidak sopan), sama halnya menyinggung harga diri, (apote tolang). Hukumannya adalah mati,” kata Bambang. Dia melanjutkan, orang Madura yang terusik harga dirinya, akan merasakan malo atau malu.

“Kemudian melakukan carok terhadap orang yang melecehkan itu,” begitu kata Bambang.

Itu sebabnya, istilah carok, sebetulnya mengacu pada ekspresi pemulihan harga diri atas prilaku yang tak sopan dari orang lain. Bentuknya, adalah pertarungan sampai mati. Umumnya menggunakan senjata parang, pedang, ataupun keris. Namun dalam perkembangannya, kegiatan carok atas dasar harga ini pun mengalami perluasan makna. Termasuk perluasan penggunaan senjata celurit yang menjadi identitas orang-orang Madura sampai saat ini.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement