REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (INDOSTRATEGIC), Ahmad Khoirul Umam, mengatakan momentum Presiden Joko Widodo keluar secara resmi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), hanya menunggu waktu. Menurut Khoirul, sudah banyak pertanda yang menyebutkan Jokowi sudah tidak kerasan lagi berada di partai yang telah mengantarkannya dua periode menjadi presiden.
Sinyal terbaru adalah ketika Maruarar Sirait berpamitan keluar dari PDIP, ia menyebut akan mengikuti jejak Presiden Jokowi. Yang artinya kata dia Jokowi saat ini memang sudah tidak lagi bersama PDIP.
"Maruarar Sirait atau Ara mengatakan, dirinya pamit dari PDIP karena ingin ikut jejak Jokowi. Statement Ara ini menjadi clue atau kode keras akan hengkangnya Jokowi secara formal dari status keanggotaannya di PDIP. Statemen Ara tentu tidak lagi ditujukan untuk membenturkan antara PDIP dengan Jokowi, tetapi benar-benar menyuarakan suasana kebatinan Jokowi yang tampaknya hanya tinggal menunggu waktu untuk mendeklarasikan secara verbal rencana kepergiannya dari PDIP," kata Khoirul, Selasa (16/1/2024).
Khoirul menjelaskan jika benar sinyal politik yang disampaikan Ara, dan deklarasi hengkangnya Jokowi dari PDIP dilakukan sebelum Pemilu 14 Februari 2024 ini, hal itu akan menjadi tsunami politik bagi PDIP di detik-detik terakhir jelang pencoblosan.
Keluarnya sederat kader muda PDIP dan merapat ke barisan Jokowi kata Khoirul juga memberikan pesan untuk membalikkan pernyataan Ketum PDIP Megawati dulu. Di mana Mega pernah menyebut Jokowi tak akan jadi apa-apa tanpa PDIP dan Jokowi adalah petugas partai.
"Di sini, Jokowi seolah hendak menjawab statement Megawati, dengan bermanuver sembari menebar berpesan, apa jadinya PDIP tanpa Jokowi? Pemilu 2024 ini berpeluang besar menjadi perang bubat sesungguhnya, sekaligus antiklimaks bagi PDIP, yang diujung kekuasaan Jokowi justru akan berhadap-hadapan dengan kekuasaan yang dulu ia semai," ucap Khoirul.
Selain itu, lanjut Khoirul, sinyal Jokowi akan hengkang dari PDIP memang semakin jelas dengan keberpihakannya ke pasangan Prabowo-Gibran. Di mana Jokowi semakin vulgar menujukkan pro Prabowo-Gibran dengan menemui para pimpinan partai pengusung.
Khoirul melihat tindakan Jokowi itui merupakan bentuk pembangkangan terbuka kepada mandat PDIP yang mewajibkan kader-kadernya untuk tunduk pada sikap dan keputusan politik partai.
"Bahkan, ketidakhadiran Jokowi di HUT ke-51 PDIP yang sakral dan ideologis, juga menjadi kode sangat keras dirinya tidak ingin lagi menyandang status sebagai petugas partai. Dengan lebih memilih datang ke acara lawatan ke negara-negara di Asia Tenggara, Jokowi ingin kembali menegaskan dirinya bukan lagi petugas partai, melainkan kini sebagai petugas negara yang tidak tunduk pada elite partai yang mengayominya," kata Khoirul menambahkan.