Senin 15 Jan 2024 18:50 WIB

MPR: Amendemen UUD tak Beri Ruang Pemakzulan

Muzani menyebut Jokowi tak melakukan pengkhianatan, korupsi, atau tindak pidana lain.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Agus raharjo
Wakil Ketua MPR yang juga Sekretaris Jenderal Partai Gerindra, Ahmad Muzani saat ditemui di ruangannya, Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (15/1/2024).
Foto: Republiika/Nawir Arsyad Akbar
Wakil Ketua MPR yang juga Sekretaris Jenderal Partai Gerindra, Ahmad Muzani saat ditemui di ruangannya, Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (15/1/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua MPR Ahmad Muzani mengatakan, usulan pemakzulan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengada-ada. Sebab berdasarkan amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pada 1999, 2000, 2001, dan 2002 tak memberi ruang untuk memakzulkan presiden.

Ia menegaskan, pandangan dalam amendemen tersebut membuat sistem pemerintahan yang presidensial memberi penguatan kepada seseorang yang sedang menjabat sebagai presiden. Tujuannya agar presiden dapat konsentrasi dalam lima tahun menjalankan pemerintahannya.

Baca Juga

"Isu pemakzulan atau upaya untuk pemakzulan di dalam UUD 1945 yang merupakan hasil amendemen tidak memberi ruang sesungguhnya di situ," ujar Muzani saat ditemui di ruangannya, Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (15/1/2024).

Lanjutnya, Pasal 7A UUD 1945 menetapkan alasan pemakzulan presiden dan atau wakil presiden dalam masa jabatannya. Pemakzulan dapat diajukan jika Jokowi terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat lainnya.

Selanjutnya dalam Pasal 7B UUD 1945, usul pemberhentian presiden dapat diajukan DPR kepada MPR dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Nantinya, MK diminta untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa presiden atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak.

Jika mengacu pada pasal tersebut, ia menilai bahwa Jokowi tak melakukan pengkhianatan, korupsi, atau tindak pidana lainnya. Justru sebaliknya, banyak keberhasilan Jokowi yang berpengaruh terhadap tingkat kepuasan publik yang masih tinggi.

"Nggak ada itu yang dilakukan oleh Pak Jokowi. Sehingga menurut saya usul dari 100 Petisi yang diajukan untuk melakukan pemakzulan jelas tidak memenuhi standar dan tidak memenuhi syarat," ujar Muzani.

Ditanya soal majunya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo Subianto yang dianggap melalui putusan yang inkonstitusional, jelasnya persoalan tersebut sudah selesai. Apalagi Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) juga telah mengeluarkan putusannya.

"Muncul desakan itu (pemakzulan) tidak relevan dan persoalan itu tidak terkait langsung dengan urusan Presiden," ujar Muzani.

Sejumlah tokoh yang tergabung dalam Petisi 100 mengajukan pemakzulan terhadap Jokowi. Diketahui, Petisi 100 sudah menyampaikan usulan pemakzulan Jokowi kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD dan MPR.

Tokoh yang terlibat dalam Petisi 100, antara lain mantan KSAD Jenderal TNI (purn) Tyasno Sudarto, mantan Ketua MPR Amien Rais, dan Guru Besar UGM Zainal Arifin Mochtar. Selain itu, ada Faizal Assegaf, pengajar UNS M Taufiq, Ketua FUI DIY Syukri Fadholi, Ketua BEM KM UGM Gielbran M Noor, dan Marwan Batubara.

"Petisi 100 datang ke DPR menggaungkan solusi terbaik menghentikan politik cawe-cawe adalah pemakzulan," ujar Faizal Assegaf lewat keterangannya, Ahad (14/1/2024).

"Bahwa tidak ada cara lain karena semua lembaga pengawas rubuh, Mahkamah Konstitusi, DPR tidak berperan, partai politik hanya mondar-mandir. Jadi perlu pemakzulan," sambungnya menegaskan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement