REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Meteorologi Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat, sebanyak 10.789 kali terjadi gempa bumi di wilayah Indonesia selama tahun 2023, dengan berbagai magnitudo dan kedalaman. Jumlah aktivitas gempa pada 2023 lebih tinggi, di atas rata-rata tahunannya yaitu sekitar 7.000 kali gempa.
Berdasarkan magnitudonya, BMKG mencatat aktivitas gempa signifikan dengan magnitudo di atas 5,0 pada 2023 terjadi sebanyak 219 kali. Sementara gempa kecil dengan magnitudo kurang dari 5,0 terjadi sebanyak 10.570 kali.
Selama 2023, gempa yang dirasakan guncangannya oleh masyarakat terjadi sebanyak 861 kali dan gempa merusak terjadi sebanyak 24 kali.
Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG, Daryono, mengatakan, sebanyak 15 kali gempa merusak dipicu aktivitas sesar atau patahan aktif dan sembilan kali gempa merusak akibat aktivitas subduksi lempeng. Sementara itu, gempa berpotensi tsunami selama 2023 terjadi dua kali, yaitu Gempa Maluku (Saumlaki) 10 Januari 2023 dengan magnitudo 7,9 dan Gempa Sumatra Barat (Mentawai-Siberut) pada 25 April 2023 dengan magnitudo 7,3.
BMKG mencatat, kedua gempa ini hanya menimbulkan kerusakan ringan pada beberapa bangunan rumah warga dan memicu tsunami minor yang tidak berdampak merusak.
Dalam rangka mengantisipasi dampak, selama tahun 2023 BMKG telah berhasil membangun instalasi jaringan 95 sensor seismograf baru, sehingga total sensor seismograf yang dioperasikan BMKG dalam mendukung operasional Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS) saat ini berjumlah sebanyak 533 sensor seismograf. Untuk memperluas jangkauan informasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami, tahun 2023, BMKG telah menambah pemasangan 75 peralatan Warning Receiver Sytem New Generation (WRS NewGen) di wilayah rawan gempabumi dan tsunami.
Dengan demikian, BMKG saat ini telah memasang 500 WRS NewGen, sebagai peralatan diseminasi informasi terkini. Daryono menilai, wilayah Indonesia dengan kompleksitas tektoniknya perlu untuk terus memperkuat upaya mitigasi gempa dan tsunami. Hal ini penting untuk menghadapi kemungkinan terjadinya aktivitas gempa yang berkekuatan besar dan memicu tsunami di masa yang akan datang. Kegiatan sosialisasi dan edukasi mitigasi harus digalakkan hingga masyarakat benar-benar berkapasitas menguasai cara selamat saat terjadi gempa dan tsunami.
Literasi Kebencanaan
Hingga 2023 BMKG terus melakukan kegiatan penguatan Literasi Kebencanaan Gempabumi dan Tsunami dengan menyusun buku-buku sains populer bertemakan Mitigasi Gempabumi dan Tsunami. BMKG juga melakukan kegiatan penguatan kapasitas Mitra BMKG dan masyarakat di daerah rawan bencana gempa bumi tsunami melalui program Sekolah Lapang Gempabumi dan Tsunami (SLG) untuk stakeholder/masyarakat dan BMKG Goes to School (BGTS) untuk siswa sekolah.
Hingga saat ini, capaian kegiatan edukasi mitigasi SLG sudah melibatkan sebanyak 37.293 peserta dari 26 lokasi dan kegiatan BGTS mencapai sebanyak 39.157 peserta siswa sekolah di 35 Unit Pelaksana Teknis BMKG di daerah. Hingga 2023, BMKG juga telah berhasil memfasilitasi sembilan Komunitas Masyarakat Siaga Tsunami di delapan kabupaten untuk mendapatkan Pengakuan Internasional dari UNESCO sebagai Tsunami Ready Community.
Di samping itu, BMKG juga telah berhasil memfasilitasi 10 Komunitas Masyarakat Siaga Tsunami di empat kabupaten/kota untuk mendapatkan pengakuan Masyarakat Siaga Tsunami Level Nasional. Pengakuan di Level internasional akan dilanjutkan pada 2024.
Sebagai bentuk dukungan penguatan kapasitas kesiapsiagaan bencana di infrastruktur kritis nasional, BMKG memfasilitasi operator, dan pengelola melaksanakan kegiatan latihan dan simulasi operasional tanggap darurat gempabumi dan tsunami yang telah dilaksanakan di Pelabuhan Tanjung Benoa, Bali, Kawasan Industri dan Pelabuhan Pelindo II Cilegon, Banten, Bandar Udara Minangkabau, Sumatra Barat, dan Bandar Udara Internasional Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Untuk keperluan identifikasi bahaya landaan tsunami dan acuan tata ruang pantai yang aman berbasis risiko tsunami, BMKG memiliki kegiatan Survei Peta Bahaya Tsunami dengan tujuan memetakan wilayah rawan tsunami; mengakuisisi data elevasi untuk pemodelan tsunami. Kemudian, memverifikasi hasil pemodelan tsunami berdasarkan hasil survei lapangan; meningkatkan koordinasi dengan Pemda dalam aktivitas mitigasi, gempa bumi dan tsunami. Hingga 2023 BMKG telah berhasil menyusun sekitar 150 Peta Bahaya Tsunami di berbagai pesisir pantai rawan tsunami di Indonesia.
Struktur Bangunan
Selain literasi kebencanaan, penting juga untuk memerhatikan keamanan struktur bangunan, baik gedung maupun non-gedung. Untuk mengantisipasi dan mitigasi bahaya gempa solusi utamanya adalah dengan mewujudkan bangunan tahan gempa. Menurut Daryono, gempa tidak membunuh dan melukai tetapi bangunan dengan struktur lemah yang roboh karena guncangan gempa adalah penyebab jatuhnya korban jiwa.
Sebagai contoh peristiwa gempa bermagnitudo 6,4 di Yogyakarta pada 27 Mei 2006 menelan korban jiwa lebih dari 5.700 orang, sementara gempa di pesisir Suruga, Jepang, pada 11 Agustus 2009 yang berkekuatan sama dengan kedalaman sama hanya menyebabkan satu korban jiwa. Ini bukti bahwa bangunan tahan gempa sangat menentukan keselamatan masyarakat.
Selain kualitas bangunan yang juga harus diperhitungkan adalah kondisi tanah. Tanah lunak yang tebal dapat memicu amplifikasi guncangan yang akan memperbesar guncangan gempa karena terjadi resonansi lapisan tanah. Zona lemah atau tanah lunak ini dapat dipetakan dengan mikrozonasi seismik.
Sementara itu, Badan Standardisasi Nasional (BSN) telah menetapkan beberapa Standar Nasional Indonesia (SNI) terkait antisipasi bahaya gempa, salah satunya SNI 1726:2019 tentang Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung dan Nongedung. Deputi Bidang Pengembangan Standar BSN, Hendro Kusumo menyampaikan, selain SNI 1726:2019, ada beberapa SNI lainnya di antaranya SNI 2847:2019 mengenai Persyaratan Beton Struktural Untuk Bangunan Gedung dan Penjelasan.
Sementara SNI yang digunakan sebagai acuan pada Rumah Instan Sederhana Sehat (RISHA) yaitu Sesuai dengan Pedoman Teknis Spesifikasi Panel Struktural Rumah Instan Sederhana Sehat (RISHA), di antaranya SNI 2847:2019, SNI 1726:2019 tentang Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung dan Nongedung.
Kemudian, SNI 2052:2017 Baja Tulangan Beton, SNI 1727:2020 tentang Beban Desain Minimum dan Kriteria Terkait Untuk Bangunan Gedung dan Struktur lain, serta SNI 8899:2020 terkait Tata Cara Pemilihan dan Modifikasi Gerak Tanah Permukaan untuk Perencanaan Gedung Tahan Gempa.
Sebagai negara yang terletak di antara Lempeng Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik, serta Cincin Api Pasifik, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan wilayah rawan gempa bumi. Oleh karena itu, masyarakat di Indonesia harus melek bencana dan senantiasa mengantisipasi segala kemungkinan.