Sebelumnya, pakar hukum dari Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah merespons positif Istana yang belum menyetujui pemberhentian Firli Bahuri sebagai ketua KPK. Herdiansyah menyebut surat tersebut memang tidak bisa diteken Presiden Joko Widodo karena Firli tidak menyatakan eksplisit mengundurkan diri, melainkan berhenti dengan alasan masa jabatannya selesai selama 4 tahun.
"Saya sendiri berharap proses etik diselesaikan dulu oleh Dewas KPK," kata Herdiansyah kepada Republika, Senin (25/12/2023).
Herdiansyah mendorong Dewas KPK menjatuhkan sanksi etik berat terhadap Firli. Ia meyakini hal itu sudah mendapat lampu hijau dari Istana seiring surat pemberhentian Firli yang tak ditandatangani.
"Firli harus dijatuhkan sanksi etik berat dalam bentuk pemberhentian dengan tidak hormat sebelum out dari KPK, sembari kasus pidananya tetap jalan," ujar Herdiansyah.
Herdiansyah tak ingin Firli kembali lolos dari jerat sanksi etik. Firli sudah pernah lari dari sanksi etik saat menjabat Deputi Penindakan KPK. Firli saat itu ditarik ke institusi Polri dengan alasan promosi jabatan ketika tersandung kasus etik.
"Jangan sampai mengulangi kejadian saat dia lolos sanksi etik ketika dulu keburu ditarik institusinya," ucap Herdiansyah.
Hal ini serupa dengan eks Komisioner KPK kasus Lili Pintauli Siregar yang mundur sehingga proses etiknya selesai karena Dewas KPK kehilangan objek pengawasan etik jika komisioner KPK lebih dulu mundur.
"Intinya, Firli memang sedang bersiasat untuk lolos dari sanksi etik, sebab dia tau posisinya sedang terpojok," ucap Herdiansyah.