REPUBLIKA.CO.ID, TASIKMALAYA -- Pihak keluarga korban bayi meninggal usai dilahirkan dan dirawat di salah satu klinik wilayah Kecamatan Bungursari, Kota Tasikmalaya, mengungkap sejumlah fakta baru terkait kasus itu. Salah satu fakta yang diungkap adalah bayi dijadikan bahan untuk konten seusai proses persalinan.
Kuasa hukum keluarga korban, Taufiq Rahman, mengatakan pihaknya telah melakukan investigasi secara mandiri dengan melakukan wawancara kepada 15 orang terkait kasus itu. Wawancara juga dilakukan dengan tenaga kesehatan (nakes) dari klinik tempat korban melakukan proses persalinan.
"Selama ini belum kami sampaikan hasilnya karena menghormati tim ad hoc. Namun, waktu mereka sudah habis, kami belum diberikan hasilnya," kata dia, Senin (11/12/2023).
Menurut Taufiq, salah satu temuan dari investigasi yang dilakukan adalah proses pemeriksaan bayi setelah dilahirkan dilakukan oleh mahasiswa yang praktik di klinik tersebut.
Padahal, pemeriksaan terhadap bayi baru lahir seharusnya dilakukan oleh tenaga ahli. Sebab, pemeriksaan awal itu menentukan penanganan selanjutnya yang harus dilakukan. "Mahasiswa itu juga tidak mendapat persetujuan pasien," kata dia.
Selain itu, dari investigasi tim kuasa hukum, bayi yang baru lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) itu diindikasikan kesulitan bernapas. Namun, bayi itu tak ditangani dengan pemberian oksigen oleh petugas.
Taufiq mengatakan, petugas justru mengambil video dan foto setelah lahir itu yang diduga untuk keperluan konten. Pengambilan video dan foto itu pun tak melalui izin dari pihak keluarga. "Bisa jadi karena itu, kondisi bayi tidak tertangani dengan cepat," kata dia.
Menurut dia, pemberian oksigen kepada bayi baru dilakukan usai petugas di klinik tersebut berkoordinasi dengan dokter RSUD dr Soekardjo. Setelah berkoordinasi, baru bayi diberikan oksigen.
Taufiq menambahkan, seharusnya bayi yang baru lahir dengan kondisi seperti itu dirujuk ke rumah sakit untuk penanganan lanjutan. Namun, pihak klinik tidak melakukannya.
Bahkan, pihak klinik juga memperbolehkan pasien dan bayinya pulang tak sampai 12 jam usai melahirkan. Padahal, merujuk pada standar pelayanan, bayi BBLR dengan kondisi suhu tubuh dan pernapasan tak stabil harus mendapat perawatan minimal tiga hari.
Akibatnya, tak sampai 24 jam setelah diperbolehkan pulang, bayi yang baru lahir itu dilaporkan meninggal dunia. "Penanganan di klinik itu saat bayi dibawa juga tak sesuai SOP. Hanya memeriksa kelopak mata dan detak jantung. Sementara saat keluarga memeriksa kembali ke rumah sakit, petugas di sana melakukan upaya lain seperti resusitasi sebelum menyatakan bayi meninggal dunia," kata Taufiq.
Menurut Taufiq, penanganan sejak awal kehamilan juga tak sesuai SOP. Ia menilai, dari penanganan awal seharunya pihak klinik sudah tahu langkah yang harus dilakukan terhadap pasien untuk mengangani kehamilannya.
Sebelumnya, Kepala Dinkes Kota Tasikmalaya Uus Supangat mengatakan, dokumen terkait hasil investigasi tim ad hoc telah diterima pada hari ke-14 usai tim itu dibentuk. Namun, Dinkes Kota Tasikmalaya masih belum mau menjelaskan hasil investigasi tersebut. Hasil investigasi itu masih harus diproses ke tahapan selanjutnya.
"Tahapan berikutnya, kami melihat kembali isi dokumen tersebut. Selanjutnya, kami akan berkoordinasi dengan IBI (Ikatan Bidan Indonesia) berkenaan dengan kode etik," kata dia saat dikonfirmasi Republika, Ahad (10/12/2023).
Ia menjelaskan, koordinasi tak hanya akan dilakukan dengan IBi. Apabila dipandang perlu, Dinkes Kota Tasikmalaya juga akan melakukan koordinasi dengan OPD terkait. Menurut dia, tahapan itu perlu ditempuh agar semua pihak mendapatkan apa yang diharapkan.
Uus menilai, pihaknya juga harus lebih berhati-hati dalam menyampaikan hasil investigasi yang telah dilakukan tim ad ad hoc. Pasalnya, pihak keluarga korban sudah melaporkan kasus itu kepada aparat kepolisian.
"Kalau terlalu prematur, dikhawatirkan akan mengganggu proses yang sedang berjalan. Yang penting, kami sudah bekerja sesuai dengan aturan yang ada, memenuhi kaidah yang ada," kata dia.