Rabu 06 Dec 2023 22:11 WIB

'Jakarta Memang Butuh UU Baru, Tapi Bukan Langkahi Demokrasi'

Mantan Dirjen Kemendagri akui Jakarta butuh UU baru tapi bukan melangkahi demokrasi.

Rep: Febrian Fachri/ Red: Bilal Ramadhan
Djohermansyah Djohan. Mantan Dirjen Kemendagri akui Jakarta butuh UU baru tapi bukan melangkahi demokrasi.
Foto: Wihdan Hidayat/Republika
Djohermansyah Djohan. Mantan Dirjen Kemendagri akui Jakarta butuh UU baru tapi bukan melangkahi demokrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Mantan Dirjen Kemendagri dan Pakar Otonomi Daerah, Prof Dr Djohermansyah Djohan, setuju DPR RI mengusulkan adanya undang-undang khusus untuk Jakarta. Karena menurut Djohermansyah, UU yang mengatur Jakarta sudah berubah. Dari semula sebagai ibu kota negara sekarang berubah menjadi daerah otonom karena ibu kota negara akan dipindahkan ke IKN Nusantara di Kalimantan.

 

Baca Juga

“Undang-undang yang mengatur daerah khusus Jakarta itu memang suatu kebutuhan karena UU yang mengatur Jakarta itu sudah berubah karena Jakarta yang diatur dalam UU Nomor 29 Tahun 2007 itu Jakarta sebagai ibu kota negara. Maka sekarang kan dia gak jadi ibu kota lagi ibu kotanya sudah pindah ke IKN, dengan UU Nomor 3 Tahun 2022,” kata Djohermansyah, kepada Republika, Rabu (6/12/2023).

 

Djohermansyah mengaku setelah mempelajari RUU DKJ ini, naskah undang-undangnya itu cukup baik, terutama terkait dengan pemgembangan Jakarta sebagai pusat ekonomi nasional, global city, sehingga harus ada kewenangan-kewenangan di bidang tertentu. Misalnya layanan publik yang lebih baik, kewenangan mengatur investasi, tenaga kerja, industri, dan perdagangan.

Tapi, Djohermansyah menyayangkan dalam RUU ini terselip sisi negatif yang dapat membuat demokrasi di Jakarta mundur. Karena dalam RUU itu, posisi gubernur dan wakil gubernur Jakarta tidak lagi dengan pemilihan. Melainkan ditunjuk dan diangkat langsung oleh presiden yang sedang menjabat.

 

“Kalau gubernur dan wakilnya ditunjuk presiden, itu akan membuat demokrasi mundur. Itu mempreteli demokrasi 10 juta orang rakyat Jakarta,” ucap Djohermansyah.

Djohermansyah berharap pemerintah menolak RUU khususnya yang mengatur jabatan gubernur dan wakil gubernur ditunjuk presiden. Karena jabatan tersebut berpotensi hanya untuk mengakomodir kepentingan politik praktis presiden yang sedang berkuasa.

 

Parahnya lagi, lanjut Djohermansyah, presiden dapat memberikan jabatan gubernur dan wakil gubernur Jakarta kepada orang yang tidak kompeten atau kepada karib kerabatnya.

 

“Kalau yang diangkat jadi gubernur Jakarta orang tidak benar, atau karib keluarganya, itu kan mencederai demokrasi,” ucap Djohermansyah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement