REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum sekaligus Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus menilai, pencawapresan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Prabowo Subianto tidak sah karena dilakukan dengan berbasiskan penyalahgunaan wewenang di Mahkamah Konstitusi (MK).
Petrus menyebut, hakim konstitusi di bawah pimpinan Anwar Usman yang notabene paman Gibran telah melampaui kewenangannya dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, dengan mengambilalih wewenang DPR secara melawan hukum. Gara-gara putusan itu, aturan cawapres minimal 40 tahun diperkecualikan bagi mereka yang pernah dan menjabat kepala daerah.
"Coba kita bayangkan dari tujuh perkara uji materiil yang essensi dan substansinya sama dengan objek yang sama, yaitu perkara Nomor 29, 51, 55, 90, 91, 92, dan 141/PUU-XXI/2023 dilakukan oleh sembilan hakim konstitusi yang sama, tapi enam putusan perkara Nomorn29, 51, 55, 91, 92 dan 141/PUU-XXI/2023 diputus dengan amar yang sama yaitu mengenai uji materiil pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, di mana semua hakim sepakat bahwa penentuan batas usia capres-cawapres masuk dalam open legal policy DPR dan pemerintah," kata Petrus di Jakarta dikutip Selasa (5/12 /2023).
Sayangnya, menurut Petrus, khusus Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, karena menyediakan peluang Gibran menjadi cawapres, maka hakim konstitusi di bawah pimpinan Anwar Usman yang merupakan adik ipar Presiden Jokowi bertindak mencampuradukan wewenang. Menurut dia, MK dengan sewenang-wenang mengambilalih wewenang DPR secara melawan hukum.
"Sehingga Anwar Usman pun dipecat dari ketua Mahkamah Konstitusi," ujar Petrus. Dia menambahkan, Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 tanggal 16 Oktober 2023 dibangun atas dasar semangat nepotisme yang sekarang membawa malapetaka tidak saja bagi keluarga Jokowi, tapi juga bagi bangsa dan negara.
Sebelumnya, MK pada 29 November 2023 mengeluarkan Putusan Nomor 141/PUUXXI/2023 terkait uji materi terhadap Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang persyaratan usia capres sebagaimana telah dimaknai oleh MK melalui putusan Nomor 90/PUUXXI/2023.
Dalam petitumnya, pemohon meminta kepada MK agar Pasal 169 huruf q UU 7/2017, sepanjang tidak dimaknai “atau berpengalaman sebagai kepala daerah pada tingkat provinsi, yakni gubernur dan/atau wakil gubernur” dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
MK kemudian menolak untuk seluruhnya permohonan yang diajukan Brahma Aryana itu. Namun demikian dalam pertimbangannya, MK berpendirian, penentuan batas usia merupakan wilayah kewenangan pembentuk undang-undang (open legal policy).