Rabu 22 Nov 2023 18:39 WIB

LSI Denny JA: Lembaga Survei Merangkap Konsultan Itu Hal Lumrah

Hal utama adalah lembaga survei harus bisa menjaga kepercayaan publik.

Peneliti LSI Denny JA, Toto Izul Fatah, mengatakan, lembaga survei merangkap konsultan adalah hal yang lumrah.
Foto: istimewa/doc pribadi
Peneliti LSI Denny JA, Toto Izul Fatah, mengatakan, lembaga survei merangkap konsultan adalah hal yang lumrah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Toto Izul Fatah, mengatakan tidak ada masalah bagi sebuah lembaga survei untuk menjadi konsultan seseorang atau lembaga. Hal yang utama adalah bagaimana lembaga survei bisa menjaga kepercayaan publik dengan integritas moral dan profesionalismenya.

“Karena itulah, isu utamanya bukan pada lembaga survei itu merangkap konsultan atau bukan, dibayar atau tidak, tapi pada seberapa lembaga itu mampu menjaga kepercayaan publik dengan integritas moral dan profesionalnnya,” kata Toto, menanggapi perdebatan publik tentang lembaga survei yang menjadi konsultan politik, Rabu (22/11/2023). 

Dijelaskannya, selain tidak ada aturan yang melarang, lembaga survei yang merangkap konsultan itu adalah hal lumrah terjadi. Bahkan, dilakukan juga oleh lembaga-lembaga survei besar dunia seperti Gallup di Amerika Serikat. 

Kenapa harus merangkap? Menurut Toto, Karena kandidat yang ingin menang itu harus punya panduan untuk memenuhi tuntutan hukum besi menang. Dijelaskannya, selain berfungsi sebagai pemandu, survei juga digunakan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan lawan.

“Termasuk memandu strategi pergerakannya,  bahkan survei juga memandu berapa 'amunisi' yang diperlukan untuk bertarung dengan merujuk data popularitas dan elektabilitas kandidat yang diperoleh,” papar Toto.

Lewat panduan data survei itulah, seorang kandidat bergerak. Jadi kandidat bergerak tidak berdasarkan intuisi, tapi berdasarkan data survei. Misalnya, untuk prioritas campaign, apakah fokus di segmen tertentu dan zona tertentu saja, atau harus melebarkan sayap ke segmen dan zona lainnya. Semua itu yang memandu bukan feeling, tapi data.

“Karena itu, tak heran, jika LSI Denny JA dalam sejumlah kasus mendampingi kandidat di Pilkada, sebulan sebelum Hari H pencoblosam, kita sudah berani mengucapkan Selamat kpd kandidat karena hasilnya pasti menang,” ungkap dia. 

Hal itu juga yang terjadi pada Pilpres. Toto mencontohkan pada 2009, LSI Denny JA mendampingi SBY. Sebulan sebelum hari H, meraka sudah berani menyampaikan bahwa SBY akan menang satu putaran. “Dan hasilnya, ternyata benar. Begitu juga saat mendampingi Jokowi,” papar Toto.  Kalau LSI Denny JA asal-asalan hanya karena ingin menyenangkan klien dan hasnilnya salah, lanjut Toto, mungkin sejak itu LSI Denny JA sudah berada di alam kubur.

Mengenai kemungkinan hasil survei meleset, Toto mengatakan , bisa raja terjadi. Dijelaskannya, dalam survei itu ada yang disebut juga dengan anomali. Menurutnya, anomali itu dalam ilmu sosial bisa terjadi, tapi jarang terjadi. Biasanya hasil survei meleset karena ada faktor faktor abnormal yang menyertainya. 

Misalnya, pada saat pilkada pertama di Nanggro Aceh Darusalam (NAD) Aceh pada 2007. Saat itu, semua hasil survei lembaga survei meleset. Hal itu terjadi karena ada situasi masyarakat masih dalam suasana tak normal karena GAM. “Sehingga, pada saat relawan riset kita yang asing datang ke rumah-rumah responden, mayoritas warga menaruh curiga, jangan-jangan intel dari Jakarta. Sehingga, kita tak bisa mendapatkan jawaban responden yang murni alias tidak tertekan,” jelas Toto.

Kasus yang hampir sama tapi konteknya berbeda, terjadi pada Pilkada DKI Jakarta. Survei yang memenangkan Ahok ternyata salah. Ahok harus kalah di putaran kedua. “Sejauh yang kita bedah, salah satu faktor nya karena ada dinamika yang tak terduga pasca Ahok membuat pernyataan blunder dengan mengutip Alquran surat Al-Maidah.  Ahok dianggap penista agama dan berujung pada demo besar-besaran,” kata Toto.

Dalam kontek dunia,  kata Toto, lembaga survei dan konsultan politik sekelas Gallup saja di AS  pernah meleset prediksinya. Begitu juga dengan penyelenggara survei lainnya sekelas Newyork Time dan CNN juga terjadi hal yang sama. Contohnya, Gallup pada tahun 1980 meleset hasil surveinya dengan penghitungan akhir pada Pilpres AS antara Jimmy Carter vs Ronald Reagan. Waktu itu, Carter diunggulkan dengan 44% dan Reagan 41%. Namun, saat quick count, Carter hanya 41% dan Reagan unggul dengan 50,7%.  

Begitu juga dengan Nework Time pada tahun 1988 yang prediksinya gagal dalam Pilpres AS antara Dukakis vs George Bush. Dalam survei terakhir, Dukakis unggul dengan 49% sementara Bush 39 %. Hasil terakhir dalam penghitungan, Bush unggul dengan 53% dan Dukakis hanya 45%. Kasus yang sama terjadi pada Tme/CNN tahun 1992, dimana Clinton yang dalam survei terakhir hanya 24%, tapi saat penghitungan akhir unggul dengan 43%. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement