Selasa 14 Nov 2023 22:16 WIB

Pengamat: Akses Transportasi Umum untuk Hunian Bisa Kurangi Kemacetan

Lebih dari 95 persen perumahan Bodetabek tak miliki akses transportasi umum.

Suasana kompleks perumahan di kawasan Sawangan, Depok, Jawa Barat, Ahad (9/2).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Suasana kompleks perumahan di kawasan Sawangan, Depok, Jawa Barat, Ahad (9/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno mengatakan ketersediaan akses transportasi umum untuk kawasan hunian bisa menekan kemacetan di Kota Jakarta dan sekitarnya.

Hal tersebut, kata Djoko saat dihubungi di Jakarta pada Selasa, mempertimbangkan pertumbuhan hunian yang pesat tanpa diimbangi akses angkutan umum membuat masyarakat memilih ojek daring atau kendaraan pribadi. Hal itu yang kemudian menjadi salah satu penyebab utama kemacetan.

Baca Juga

"Masifnya pertumbuhan permukiman di pinggiran perkotaan belum diimbangi dengan layanan akses angkutan umum sehingga masyarakat mengandalkan ojek daring ataupun kendaraan pribadi entah roda dua maupun roda empat," ujar Djoko.

Pada hunian di beberapa kota, seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek), komposisi angkutan umum hanya tersisa dua persen. Sedangkan mobil 23 persen dan sepeda motor mencapai 75 persen.

"Tidak ada kesesuaian antara membangun kawasan perumahan dan layanan transportasi," ujar dia.

Di sisi lain, kata Djoko, lebih dari 95 persen kawasan perumahan di Bodetabek tidak memiliki akses layanan transportasi umum.

Sekarang, setiap membangun kawasan permukiman selalu tidak wajib disertai layanan transportasi umum. "Idealnya, warga berjalan kaki tidak lebih dari 500 meter bisa menemukan halte bus, terminal bus atau stasiun kereta," kata Djoko.

Kondisi tersebut, kata Djoko, akan tetap menimbulkan kemacetan di Jakarta meskipun 88 persen Kota Jakarta telah dijangkau oleh angkutan umum.

"Sumbangan kendaraan pribadi di Jakarta kan dari kota-kota penyangga tersebut (Bodetabek)," kata Djoko.

Djoko menjelaskan bahwa tidak tersedianya akses transportasi umum di kawasan hunian menimbulkan masalah sistemik dengan mempertimbangkan perilaku bertransportasi

masyarakat yang beralih ke ojek daring atau membeli kendaraan pribadi.

"Anak-anak muda yang baru kerja, misalnya, kemudian terpaksa untuk mengambil kredit sepeda motor atau kendaraan pribadi, di saat yang sama mereka harus kredit rumah kemudian dengan gaji yang masih UMP/UMK. Jadi itu berdampak secara finansial juga," kata Djoko.

Kemudian, kata Djoko, dengan kemacetan yang ditimbulkan akibat penggunaan kendaraan pribadi ataupun ojek daring, lama perjalanan ke tempat kerja juga meningkat sehingga berpengaruh kepada kinerja masyarakat.

"Di Jerman itu, lama perjalanan ke tempat kerja maksimal 45 menit, itu diatur pemerintah karena mempengaruhi kinerja," katanya.

"Di sini kan bisa sampai dua jam dalam perjalanan. Sampai di kantor maksimal bisa kerja efektif dua jam, habis itu ngantuk. Kan rugi negara juga," kata dia.

Djoko juga mengaitkan kemacetan dengan angka kecelakaan yang tinggi.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2021, tercatat jumlah kecelakaan lalu lintas di DKI Jakarta mencapai 6.141 kejadian, 4.507 di antaranya merupakan kecelakaan sepeda motor.

Djoko menyebutkan, tawaran memiliki sepeda motor yang kian mudah dan murah, menyebabkan masyarakat lebih tertarik memakai sepeda motor untuk bermobilitas karena cenderung lebih gesit dan juga dapat subsidi bahan bakar minyak (BBM) dari pemerintah.

"Padahal, tingkat kecelakaan sepeda motor mendominasi angka kecelakaan lalu lintas," ujar Djoko.

Karena itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman yang tidak mewajibkan fasilitas transportasi umum sebagai bagian dari sarana umum perlu direvisi.

"Perlu direvisi dengan memasukkan kewajiban pembangunan perumahan dan permukiman disertai penyediaan fasilitas akses transportasi umum," kata Djoko.

sumber : ANTARA
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement