REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemilu serentak 2024 menjadi kontestasi politik yang sangat ramai dan rumit. Pakar menilai ada sejumlah dinamika dalam pemilihan presiden serta pemilihan legislatif pada tahun depan yang diramaikan dengan disinformasi yang bertebaran serta praktik pragmatisme politik.
Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengungkapkan adanya sejumlah tantangan dalam Pemilu 2024. Pertama adalah orientasi pemilih yang berfokus pada pemilihan presiden, yang akhirnya tidak memperhatikan pemilihan legislatif.
Hal itu berdampak pada tantangan-tantangan lainnya yang menjurus pada langkah pragmatisme. Adapun, tantangan kedua, karena pemilihan presiden dominan dan pemilihan legislatif kompetisinya sangat ketat.
"Sekarang ada 18 partai politik, pada 2019 ada 16 partai politik, bertambah banyak partai kompetisi tambah berat, itulah memicu terjadi pragmatisme politik. Untuk mengambil atensi pemilih terjadilah kerentanan yang tinggi pada jual beli suara," kata Titi di Seminar Nasional bertajuk 'Hasutan Kebencian Menjelang Pemilu 2024: Bagaimana Menyangkalnya?' di Jakarta, Selasa (31/10/2023).
Titi mengungkapkan, data kasus pidana pemilu 2019 dengan 380 putusan inkrah. Menurut data tersebut, politik uang atau jual beli suara adalah kasus yang paling banyak terjadi dalam proses pemilu.
Perinciannya, lima teratas vonis pengadilan yakni politik uang sebanyak 69 kasus, memberikan suara lebih dari satu kali sebanyak 65 kasus, penggelembungan suara sebanyak 43 kasus, mengaku sebagai orang lain pada saat pencoblosan sebanyak 35 kasus, dan mengubah rekapitulasi hasil perhitungan suara berjumlah 28 kasus.
"Tantangan ketiga, kapasitas pemilih yang bermasalah, karena terlalu sibuk dengan pemilihan presiden dan kurang mampu memberikan suara untuk pemilihan legislatif dengan benar. Akhirnya suara menjadi tidak sah atau salah dalam mencoblos sangat tinggi," kata Titi.
Berdasarkan data Literasi Teknis Pemberian Suara, Titi menjelaskan, surat suara yang tidak sah dalam pemilihan DPR RI mencapai hingga 17,5 juta atau 11,2 persen dari jumlah pemilih 139.9 juta pada 2019. Lebih parah lagi pada pemilihan DPD RI, surat suara yang tidak sah berjumlah 29 juta atau 19 persen.
"Ternyata penyebab paling banyak itu terjadi adalah blank vote. Suara DPR diterima, diambil, tapi tidak dibuka, tidak dicoblos, tidak diapa-apain, dikembalikan ke kotak suara. Karena presiden mudah tergelincir kalau parlemennya tidak efektif, berilah perhatian juga pada pileg," ujar Titi.
Adapun tantangan keempat, yakni karena kompetisinya sangat ramai, kompetitif, peluang untuk menang menjadi begitu berat untuk didapat. Kondisi itu memicu pragmatisme dengan mengambil jalan pintas, menyebarkan hoaks disinformasi, dan dan ujaran kebencian.
"Jadi, dalam situasi keramaian kita dengan jumlah pemilih 204 juta pragmatisme itu mudah muncul, tinggal sekarang kita mau merespons apa," kata Titi.
Enam aspek...