Selasa 17 Oct 2023 20:45 WIB

Mengapa Prakiraan Cuaca Bisa Meleset? Begini Penjelasan BMKG

Prakiraan cuaca yang meleset biasanya bukan berasal dari BMKG.

Rep: Desy Susilawati/ Red: Qommarria Rostanti
Seorang warga memantau mengakses informasi perkembangan kondisi cuaca melalui akun media sosial BMKG.
Foto: Republika/Bowo Pribadi
Seorang warga memantau mengakses informasi perkembangan kondisi cuaca melalui akun media sosial BMKG.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Prakiraan cuaca terkadang bisa meleset. Awalnya diprediksi akan turun hujan, namun kadang ternyata hujan tak kunjung datang. Apa sebenarnya penyebab prakiraan cuaca bisa meleset?

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menjelaskan, kurang lebih liima tahun terakhir ini cukup banyak beredar prakiraan cuaca yg muncul di mobile phone. Masyarakat mengira prakiraan cuaca yang dibacanya berasal dari BMKG. Namun setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata bukan bersumber dari BMKG.

Baca Juga

BMKG merupakan otoritas resmi pemerintah yang berwenang untuk memberikan layanan Informasi cuaca di wilayah Indonesia, sesuai dengan UU Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika.  "Karena kami ini kan juga selalu mengevaluasi dan melihat beberapa kali masukan dari publik terkait ketepatan prakiraan cuaca kita, setelah kami cek ternyata bukan produk kami,” ujarnya kepada Republika.co.id, Senin (16/10/2023). 

Produk prakiraan cuaca untuk wilayah Indonesia yang sudah cukup lama dan luas beredar secara digital, dan sudah cukup sering dimanfaatkan masyarakat Indonesia. Memang akhir-akhir ini kadang meleset. Prakiraan tersebut merupakan produk global oleh institusi non Pemerintah Indonesia. Jadi prakiraan tersebut bukan merupakan produk prakiraan yang dibuat oleh BMKG sebagai institusi resmi yang berwenang untuk memberikan prakiraan cuaca bagi publik di Indonesia. 

Apa saja faktor yang menentukan prakiraan cuaca?

Menurut Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG Dr Andri Ramdhani, prakiraan cuaca yang tidak resmi tersebut dibuat dengan data global yang diolah dengan pemodelan matematis dan kemudian di-downscale khusus untuk wilayah Indonesia. Data global tersebut merupakan data cuaca yang berasal dari negara-negara di seluruh dunia yang menjadi anggota Organisasi Meteorologi Dunia. Termasuk BMKG yang selalu mengirimkan data ke Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) secara otomatis melalui jaringan komunikasi satelit, untuk dihimpun menjadi data global.

Namun yang dikirimkan oleh BMKG hanya terbatas data dari 59 stasiun pengamatan di Indonesia. Tentunya data tersebut masih sangat kurang merepresentasikan kondisi cuaca di seluruh wilayah Indonesia.   

"Makanya hasilnya itu kadang-kadang meleset karena tidak divalidasi atau diverifikasi dengan data observasi yang memadai," ujarnya.

Pemodelan global yang di-downscale tersebut dinilainya tidak cukup akurat untuk merepresentasikan kondisi di Indonesia yang sangat kompleks dan dinamis. Pasalnya kondisi cuaca dan iklim di Indonesia sangat unik dipengaruhi oleh dua samudra luas yakni Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, serta dipengaruhi oleh Benua Asia dan Australia. "Juga berada di wilayah khatulistiwa yang merupakan kepulauan dengan kondisi topografi yang kompleks bergunung-gunung," ujarnya.

Mengapa mereka tidak melakukan verifikasi atau validasi dengan data sesungguhnya di lapangan di Indonesia? Menurut Andri hal itu karena biaya untuk verifikasi dengan menyiapkan data ribuan di negara lain (misal di Indonesia) membutuhkan biaya yang sangat mahal, sementara institusi mereka di luar Indonesia dan tentunya tidak mudah untuk memasang ribuan peralatan di wilayah Indonesia. 

BMKG memiliki ribuan titik observasi yang diperlukan untuk asimilasi dan validasi model prakiraan cuaca di seluruh wilayah Indonesia, yang diolah oleh para pemantau (observer) dan prakirawan (forcaster) putra-putri Indonesia. Mereka sudah sangat familier dengan kondisi faktual dinamika dan kompleksitas cuaca di Indonesia.

Pemerintah Indonesia telah memfasilitasi dengan berbagai sistem dan peralatan cuaca dan sistem komputasi, antara lain puluhan radar cuaca dan ribuan peralatan operasional. "Karena ditanggung pemerintah, kami mampu untuk menyediakan sistem dan peralatan tersebut, juga mengoperasikan dan memeliharanya. Sebaliknya, institusi non Pemerintah tersebut yang tidak berbasis di Indonesia, tidak mempunyai kapasitas untuk memasang ratusan peralatan dengan sistem processing dan komputasi yang telah diset-up khusus sesuai dengan keunikan dinamika cuaca di wilayah Indonesia," ujarnya.

"Jadi membuat prakiraan cuaca secara akurat hingga 90 persen seperti yang dilakukan oleh BMKG, terasa mahal bagi Institusi non Pemerintah yang berada di luar wilayah Indonesia tersebut," ujarnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement