REPUBLIKA.CO.ID, oleh Shabrina Zakaria
“Do Re Mi Fa Sol La Si Do,” suara 34 siswa Kelas 4B SDN Cidokom 2, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor terdengar dari dalam mushola.
Puluhan pelajar dari berbagai kampung di Desa Cidokom ini dengan semangat mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM) mata pelajaran Kesenian. Usai menyanyikan tangga nada, para siswa kemudian menyalin apa yang ditulis sang guru di papan tulis, ke buku tulisnya masing-masing.
Satu per satu para siswa mengeluarkan buku dan alat tulis dari tasnya. Kemudian mengatur posisinya masing-masing, lantaran mereka harus menulis tanpa alas meja. Sejak awal tahun ajaran 2023/2024, siswa kelas 4B terpaksa harus belajar di mushola. Jumlah murid sekelas yang paling sedikit di sekolah tersebut, membuat mereka mau tidak mau berbesar hati untuk menempati mushola menjadi ruang belajar.
Mushola seluas sekitar 4 x 6 meter itu disulap oleh para guru sejak dua tahun lalu, menjadi ruang kelas alakadarnya. Tiang pembatas mushola masih bertengger melintang di atas ruangan. Tanpa meja dan kursi, para siswa belajar lesehan di lantai tanpa alas.
Alhasil, para siswa yang malang itu harus mengatur posisi sedemikian rupa agar bisa menulis di lantai dengan nyaman. Mengganjal buku dengan kaki, setengah tengkurap, hingga memanfaatkan tembok yang catnya sudah mulai memudar.
Terlebih, atap dari mushola ini masih terbuat dari asbes, yang membuat hawa kelas terasa lebih panas di musim kemarau. Guru-guru yang baik hati pun menempatkan satu unit kipas angin di dalam ruang belajar dadakan tersebut.
Tak hanya meja dan kursi yang masih nihil, buku-buku paket yang akan digunakan para siswa untuk belajar hanya diletakkan di beberapa kardus. Sebab, mushola itu juga belum memiliki lemari untuk menyimpan dan menata buku.
Firkah (9 tahun), salah seorang di antaranya, memimpikan ruang kelas yang besar seperti dahulu lagi. Mushola yang sempit dan panas ini, membuatnya merasa tak nyaman belajar sambil berdesak-desakan.
Menulis di lantai pun membuat punggung kecilnya merasa pegal. Apakah ia harus menunduk, bersandar di tembok, atau sesekali melipat kakinya agar bisa menulis dengan mudah.
“Lebih suka belajar di meja. Kalau di bawah nggak enak, pegal. Nulisnya susah,” kata Firkah ketika ditemui Republika di sela-sela kegiatan belajarnya, Senin (9/10/2023).