REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) segera membangun gedung koleksi khusus artefak arkeologi di kawasan BRIN Cibinong. Gedung ini menjadi pusat penyimpanan seluruh temuan hasil riset arkeologi yang tersebar di berbagai instansi di seluruh Indonesia. Hal ini disampaikan Kepala BRIN Laksana Tri Handoko, Rabu (4/10/2023) pagi.
Kepala BRIN menghadiri ‘Commemoration of the 20th Anniversary of Homo floresiensis Discovery’ di Kawasan Sains Raden Panji Soejono BRIN di Pejaten Pasar Minggu. Ini adalah acara diskusi memeringati 20 tahun penemuan fosil fenomenal Homo floresiensis. Dinilai fenomenal karena inilah satu satunya temuan fosil manusia purba dengan bentuk badan kecil. Temuan ini kerap disebut sebagai ‘hobbit’ Flores, karena berupa rangka manusia kecil, hanya setinggi 106 cm. Diperkirakan umur hobbit Flores itu antara 30 ribu tahun yang lalu (tyl) hingga 50 ribu tyl.
Laksana mengatakan salah satu pekerjaan rumah arkeolog di Indonesia adalah memperlakukan artefaknya dengan baik. Realitasnya, artefak hasil penelitian yang jumlahnya amat besar itu umumnya disimpan di gudang gudang di berbagai instansi di seluruh Indonesia. Ia ingin seluruh temuan itu disimpan secara terpusat.
“Tidak akan tercampur lagi di gedung lain. Kita akan pindahkan semua artefak. Berapapun ukurannya, semua masuk ke gedung itu,” kata Laksana. Sembari memindahkan artefak, Laksana juga menginginkan ada inventarisasi menyeluruh terhadap koleksi artefak. Kemudian mulai dilakukan valuasi artefak. Mengapa harus divaluasi?
Menurut dia, artefak adalah aset barang milik negara. Aset artefak itu penting untuk kredibilitas peneliti terkait. Semakin tinggi aset artefaknya, maka kesempatan mendapat dana penelitian pun kian terbuka. Bahkan, Laksana membayangkan, valuasi aset artefak Indonesia ini bisa mencapai Rp 20 triliun. Namun, ia tidak menjelaskan lebih lanjut dari mana angka sebesar itu ia dapatkan.
Ia mengilustrasikan, valuasi artefak sebagai aset itu menyerupai seseorang yang ingin membeli rumah ke bank. Bank akan menghitung kemampuan pembayaran termasuk aset aset finansial yang bersangkutan. “Kalau valuasinya kecil kan tidak mungkin mendapat pinjaman besar,” kata dia. Di sisi lain, valuasi aset juga penting bagi citra ke negara lain bahwa Indonesia mampu menyimpan artefaknya dengan baik. Apalagi saat ini banyak artefak Indonesia yang masih disimpan negara lain, seperti Belanda.
Ia lalu menceritakan pernah meminta ke Museum Leiden Belanda agar mengembalikan seluruh artefak milik Indonesia. Ia juga pernah mendengar Presiden Megawatir Soekarnoputri pernah meminta agar Belanda mengembalikan artefak Indonesia itu sejak 2002. Namun hingga kini upaya itu belum maksimal.
Selain disimpan di gedung pusat, Laksana juga menyilakan agar artefak yang memiliki nilai kesejarahan tinggi untuk digunakan oleh Dirjen Kebudayaan sebagai benda cagar budaya.