Rabu 27 Sep 2023 16:01 WIB

Jadi Hakim Konstitusi, Arsul Kritik Kewenangan MK Adili Perkara untuk Kepentingannya

Komisi III menyepakati memilih Arsul Sani menjadi hakim MK.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Agus raharjo
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menanggapi adanya gugatan terhadap usia maksimal cawapres menjadi 65 tahun, di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (22/8/2023).
Foto: Republika/ Nawir Arsyad Akbar
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menanggapi adanya gugatan terhadap usia maksimal cawapres menjadi 65 tahun, di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (22/8/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi III DPR telah menyepakati nama Arsul Sani menjadi calon hakim konstitusi menggantikan Wahiduddin Adams. Namun, dalam pemaparan makalahnya di uji kelayakan dan kepatutan, Arsul justru mengkritik kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengadili gugatan terhadap Undang-Undang MK, yang terkait kepentingan lembaga tersebut.

Menurutnya, kewenangan tersebut menjadi persoalan dan melanggar asas nemo judex in causa sua atau tidak boleh ada yang menjadi hakim untuk perkaranya sendiri. Dia menegaskan, hakim konstitusi tidak boleh mengadili gugatan yang memiliki kepentingan terkait kepentingan langsung maupun tidak langsung.

Baca Juga

"Dalam UU 48/2009 Pasal 17 Ayat 5, asas nemo judex in causa sua dicerminkan dalam ayat tersebut yang berbunyi 'Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila dia memiliki kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang ditangani'," ujar Arsul dalam uji kelayakan dan kepatutan yang digelar Komisi III, Selasa (26/9/2023).

Persoalan terkait asas nemo judex in causa sua di MK pertama kali terjadi pada 2006. Saat itu, sebanyak 31 hakim agung meminta MK untuk memutuskan bahwa Komisi Yudisial (KY) tak memiliki kewenangan mengawasi hakim agung Mahkamah Agung (MA) dan hakim konstitusi MK.

Dalam perkara tersebut, MK menyatakan bahwa mereka tidak punya dasar konstitusional untuk menyatakan KY tidak memiliki kewenangan untuk mengawasi hakim agung. Namun, di sisi lain, MK justru menyatakan bahwa KY tak memiliki kewenangan untuk mengawasi hakim konstitusi.

Dalih MK saat itu, mereka berpatokan pada asas ius curia novit, yang artinya hakim dianggap mengetahui semua hukum sehingga pengadilan tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara. Hal tersebut diatur dalam Pasal 10 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

"Dalam putusan itu juga, MK menyatakan bahwa asas nemo judex in causa sua hanya berlaku untuk MA dalam perkara perdata dan perkara pidana, tapi tidak berlaku untuk perkara konstitusional yang sifat putusannya adalah erga omnes atau mengikat publik," ujar Arsul.

"Ini perlu jalan tengah, dalam paper yang saya sampaikan untuk mengatasi benturan antara dua asas, asas nemo judex in causa sua di satu sisi, dan asas ius coria novit di sisi lain. Maka hemat saya pembentuk undang-undang perlu mengatur dalam RUU perubahan atas UU MK," kata anggota Komisi II dan wakil ketua MPR itu.

Diketahui, Komisi III menyepakati untuk memilih Arsul menjadi hakim MK yang menggantikan posisi Wahiduddin Adams. Ketua Komisi III Bambang Wuryanto menjelaskan sejumlah alasan mengapa pihaknya memilih wakil ketua umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu.

Pertama adalah kekecewaan Komisi III yang kerap mengabulkan gugatan untuk membatalkan sebuah undang-undang yang sudah dibahas dan disahkan oleh DPR. Padahal selama proses pembahasannya, sudah memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan.

"Kita tidak pernah diajak (MK) bicara, tiba-tiba dibatalkan, padahal kita kerjakan, dibatalkan. Kenapa? karena mohon maaf, karena tidak ada satupun yang punya profesi sebagai DPR, memahami SOP yang ada di DPR," ujar Bambang di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (26/9/2023).

"Itu salah satu pertimbangan beberapa kawan tadi yang memilih Arsul Sani dan juga memang menguasai S1 juga di hukum dan di DPR," katanya menambahkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement