Selasa 26 Sep 2023 10:03 WIB

Ganjar, Prabowo, Anies: Sengkarut Gagasan Poros Koalisi dan Negosiasi Politik

Bukan elektabilitas, Gagasan seharusnya kini jadi bahan dikedepankan dalam Pilpres

Memasukan kartu pilihan di kotak suara. (ilustrasi).
Foto:

Dari Negosiasi ke Koalisi

Tulisan Lewis Rice dari Harvard Kennedy School mencatatkan bahwa negosiasi politik tak lain untuk melakukan kompromi mencapai win-win solution. Namun, dalam praktiknya, hambatan yang ditemui para pihak berinteraksi secara tertutup dan justru terkesan saling menyandera dengan konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan. Aturan main di ranah politik memang agak sulit dipastikan, karena yang pasti dari politik itu ketidakpastian. 

Sementara itu, publik sudah menunggu kepastian ke mana arah koalisi, pasangan mana yang lebih serasi, sampai siapa tokoh kunci di balik kandidasi? Harapan publik sebenarnya sederhana, ingin merayakan demokrasi. Kenyataannya, proses negosiasi tak sesederhana itu. Hitung-hitungan plus minus sampai “gak bahaya ta?” secara politik menjadi pertimbangan sentral memilih jalur koalisi. 

Kegagalan melakukan power sharing dengan partai yang merasa punya “saham penuh” atau kepemilikan utama atas kandidat bisa menganggu jalannya komunikasi politik yang stabil. Sementara, klaim politis untuk mendapatkan legitimasi publik menjadi battleground setiap partai pengusung maupun pendukung. Artinya, pembentukan poros koalisi bukanlah proses linier, melainkan bentuk asimetris dari berbagai kepentingan yang menginginkan untuk diakomodasi. Oleh karena itu, kandidat yang akomodatif berpotensi memudahkan pembentukan poros koalisi. Meski, setelah terbentuk poros itu bukan berarti proses negosiasi selesai, tetapi hanya beralih ke tahapan lain untuk saling menegosiasikan kepentingan yang lebih inti. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement