REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengecam kasus anak SD berinisial SAH yang mengalami kebutaan setelah matanya ditusuk dengan tusukan pentol di Gresik, Jawa Timur. Pelaku melakukan hal tersebut lantaran korban tidak memberikan uang yang diminta oleh pelaku.
Atas kejadian ini, KPPPA segera melakukan koordinasi dengan beberapa pihak terkait. KPPPA ingin memastikan korban mendapatkan pendampingan yang terbaik.
"Akibat ditusuk matanya oleh pelaku, korban mengalami kerusakan pada saraf matanya sehingga mengakibatkan korban tidak bisa melihat," kata Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KPPPA, Nahar kepada Republika, Selasa (19/9).
Berdasarkan laporan yang diterima KPPPA, korban awalnya sedang duduk di halaman sekolah, kemudian pelaku yang diduga merupakan kakak kelas korban, mendekati dan menarik korban ke lorong sekolah. Korban dimintai uang sebesar Rp 7.000 oleh pelaku, namun korban tidak memberinya.
Setelah itu, pelaku menutup mata kiri korban dengan tangan, menusuk mata kanan korban dengan tusukan pentol, kemudian pelaku kabur.
"Saat pulang sekolah, korban menceritakan yang terjadi ke ayahnya. Ayah korban melihat ada luka di mata korban dan baju seragam korban. Selanjutnya, ayah korban segera membawa korban ke rumah sakit," ujar Nahar.
Kasus tersebut sudah dilaporkan ke Polsek Menganti dan Polres Gresik. Orang tua korban sudah meminta rekaman CCTV kepada pihak sekolah, namun tidak diberikan oleh pihak sekolah. Kemudian, rekaman CCTV juga diminta oleh pihak kepolisian.
"Namun rekaman pada tanggal tersebut tidak tersedia," ujar Nahar.
Kondisi korban saat ini sedang perawatan fisik sehingga perlu istirahat total. Nahar menyebut korban perlu diberikan penguatan oleh keluarga agar anak bisa melalui proses pengobatan dengan baik.
"Korban membutuhkan pendampingan psikologi karena ada kecenderungan perilaku menarik diri, selain itu juga ada indikasi trauma sehingga diperlukan penanganan psikologi untuk menurunkan dampak psikologi akibat peristiwa yang dialaminya," ujar Nahar.
Nahar juga mengimbau keluarga mendampingi korban di lingkungan keluarga maupun sekitarnya, serta perlu meningkatkan komunikasi positif dengan anak agar anak bisa terbuka dan mengekspresikan emosi yang saat ini dirasakan. Hal ini bisa membantu anak dalam proses pemulihan fisik dan psikisnya.
"Pihak sekolah juga perlu meningkatkan kewaspadaan dan monitoring terkait kegiatan-kegiatan yang dilakukan siswa dan siswi yang ada di lingkungan sekolah, sehingga kekerasan pada anak dapat dicegah," ujar Nahar.
Akibat perbuatannya, terlapor diduga telah melakukan tindak pidana kekerasan fisik terhadap anak yang melanggar pasal 76C juncto pasal 80 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Adapun pidana penjara paling lama tiga tahun enam bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72 juta.
Apabila dari kejadian tersebut mengakibatkan luka berat bagi anak korban, maka dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100 juta sesuai pasal 80 ayat (2) UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.