Kamis 14 Sep 2023 17:22 WIB

Strategi Nasional Bisnis dan HAM Pemerintah Indonesia Dinilai Alami Kemajuan

Pemerintah Indonesia telah membukukan capaian pada tingkat dasar.

Setara Institute melakukan pemaparan mengenai Kinerja dan Status Terkini Pemajuan Bisnis dan HAM di Indonesia.
Foto: Dok. Web
Setara Institute melakukan pemaparan mengenai Kinerja dan Status Terkini Pemajuan Bisnis dan HAM di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak tahun 2011, Pemerintah Indonesia diketahui telah mengadopsi norma bisnis dan HAM yang dikeluarkan oleh United Nations Working Group on Business and Human Rights (UNWG) dalam bentuk United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs). Ini merupakan suatu norma yang memastikan tanggung jawab negara dan sektor korporasi dalam menjalankan bisnis yang bertanggung jawab. 

Setelah lebih dari 10 tahun, kinerja pemerintah dalam pemajuan bisnis dan HAM berada pada tingkat basic to improving, yakni masih pemula menuju langkah pemajuan. 

Dengan menggunakan kerangka pengukuran pada enam level kinerja negligible, basic, improving, established, mature, dan leading, Setara Institute merilis laporan Kinerja dan Status Terkini Pemajuan Bisnis dan HAM di Indonesia. 

Mereka menyimpulkan bahwa pada 11 indikator yang digunakan sebagai alat ukur yang ditetapkan UNGPs, pemerintah Indonesia telah membukukan capaian pada tingkat dasar untuk lima indikator, pada tingkat improving untuk lima indikator dan pada tingkat established untuk 1 indikator.

"Capaian inovasi normatif ini didukung oleh kinerja Kementerian Hukum dan HAM yang saat ini telah berada pada tahap finalisasi dokumen Peraturan Presiden tentang Strategi Nasional Bisnis dan HAM dan pembentukan Gugus Tugas Nasional (GTN) dan Gusus Tugas Daerah (GTD) Bisnis dan HAM," kata Peneliti Bisnis dan HAM Setara Institute Nabhan Aiqani, dikutip pada Kamis (14/9/2023). 

Selain itu, pemerintah Indonesia telah meratifikasi 10 Instrumen HAM internasional utama dan delapan Konvensi Inti ILO (The Core ILO Conventions) yang relevan dengan kewajiban perlindungan negara terhadap HAM dalam operasionalisasi bisnis sebagaimana diamanatkan UNGPs.

Laporan pertama yang paling komprehensif memotret kinerja dan status pemajuan bisnis dan HAM ini, juga menemukan bahwa negara telah memiliki modalitas regulasi dan peraturan nasional untuk mengakselerasi pematuhan bisnis dan HAM. 

"Penelitian ini menemukan 54 jenis peraturan dalam berbagai hirarki peraturan yang meliputi 32 Undang-Undang, 4 Peraturan Pemerintah, 4 Peraturan Presiden, 3 Instruksi dan Keputusan Presiden, 6 Peraturan dan Keputusan Menteri, serta 5 Peraturan Badan/Lembaga yang promotif terhadap pemajuan BHAM," kata dia. 

Di sisi lain, posisi basic to improving dari kinerja negara ini menjadi semakin lambat disebubakan masih ditemukan peraturan perundang-undangan dan regulasi-regulasi regresif yang berpotensi menghambat efektivitas implementasi prinsip BHAM, antara lain UU No. 7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, dimana UU ini mengizinkan pelibatan TNI dalam penanganan stabilitas nasional dan terhambatnya pembangunan nasional; UU No. 3/2020 tentang Perubahan UU Mineral dan Batubara. Ini menekankan tidak boleh ada upaya setiap orang untuk merintangi kegiatan usaha pertambangan, (c) UU 11/2020 Cipta Kerja sebagaimana diubah dengan UU 6/2023, yang berdampak buruk bagi perlindungan buruh/pekerja; (d) UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum dan turunannya seperti PP 19/2021, yang membuka ruang-ruang perampasan tanah rakyat.

"Temuan regresif lainnya regresif adalah (a) pemerintah hanya memberi respons parsial atas rekomendasi-rekomendasi Badan HAM PBB pada aspek-aspek Bisnis dan HAM, (b) pemerintah belum memiliki pengaturan wajib (mandatory) uji tuntas HAM, (c) negara belum dapat menjadi katalisator dan pionir untuk pemenuhan aspek HAM yang mempromosikan transparansi dan ketertelusuran rantai pasok, dan (d) dari berbagai perjanjian internasional/bilateral di bidang ekonomi, sama sekali belum menyentuh aspek HAM sebagai variabel yang diperjanjikan dan dipedomani bersama," papar dia. 

Peneliti Senior setara Institute/Co-Founder SIGI & Dosen Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ismail Hasani menambahkan, pemerintah juga belum menyediakan dan memfasilitasi inisiatif untuk memastikan terwujudnya mekanisme pemulihan yang efektif (effective remedies) atas tindakan pelanggaran oleh entitas bisnis sebagaimana mandat UNGPs. 

Penelitian ini, kata dia, merekomendasikan agenda bagi pemerinta. Antara lain mempercepat pengesahan Perpres Strategi Nasional Bisnis dan HAM, memperkuat peraturan perundang-undangan, kebijakan, dan agenda aksi BHAM pada sektor-sektor bisnis dengan dampak HAM paling krusial, mendorong konsistensi pemenuhan pada aspek formal dan legal dengan praksis implementasi prinsip BHAM.

"Secara gradual menuju kebijakan mandatori Uji Tuntas HAM bagi sektor bisnis, mengagendakan evaluasi dan perubahan peraturan perundang-undangan yang kontradiktif dengan upaya pemajuan prinsip BHAM di Indonesia, dan mendorong penguatan pada aspek remediasi (pemulihan HAM terhadap korban)," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement