REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota DPR RI dari Fraksi PKS, Suryadi Jaya Purnama, meminta pemerintah segera mengevaluasi LRT Jabodebek. Apalagi, ia menekankan, sudah banyak keluhan tentang berbagai sisinya datang dari masyarakat.
Banyak yang menyoroti ukuran pintu dan kereta LRT Jabodebek yang terlalu pendek. Anehnya, alasan dari PT KAI dan Kemenhub karena pintu tersebut didesain untuk rata-rata tinggi badan orang Indonesia 160 centimeter.
Suryadi mempertanyakan dasar perhitungan rata-rata tinggi badan karena data itu diambil dari penelitian yang dilakukan 9 tahun lalu. Yaitu, studi Association of Southeast Asian Nations DNA yang dilakukan 2014.
Padahal, jika mengacu kepada data terbaru dari World Data, laki-laki Indonesia memiliki tinggi badan rata-rata 166 centimeter. Sedangkan, untuk wanita Indonesia memiliki rata-rata tinggi badan 154 centimeter.
Studi ini diterbitkan NCD-RisC. Data diambil dari 1.200 penelitian yang dirangkum dari analisis pada 2020 dan merangkum 2.100 lebih penelitian dari 1985-2019 dan dapat ditemukan di jurnal medis seperti The Lancet.
"Kita menyesalkan PT INKA sebagai pembuat atau PT KAI sebagai operator yang tidak mengadakan studi tersendiri untuk benar-benar memastikan itu, sehingga menyebabkan pembuatan pintu kereta yang terlalu pendek," kata Suryadi kepada Republika, Kamis (31/8).
Kesalahan itu turut disebabkan tidak adanya peran pemerintah, Kemenhub, yang seharusnya menyediakan standar perkeretaapian. Karenanya, Suryadi meminta agar Kemenhub membuat kajian sendiri tentang data antropometri.
Antropometri adalah ilmu tentang pengukuran tubuh manusia yang digunakan untuk pembuatan desain furniture yang ergonomis. Data antropometri orang orang Indonesia nantinya bisa bermanfaat bukan hanya untuk pintu kereta.
"Bisa untuk tempat duduk dan lain-lain. Selain perkeretaapian, data bisa bermanfaat untuk moda lain sebagai produk dari Indonesia untuk Indonesia," ujar Suryadi.
Ada pula keluhan terkait jarak antarkereta tiba di stasiun yang sporadis dan informasi tujuan kereta tidak jelas. Dalam kereta, pemberitahuan melalui suara atau tertulis lewat panel di dalam gerbong tidak tersedia.
Pengereman yang masih kasar saat berhenti di stasiun kemungkinan agar kereta berhenti tepat di titik pintu kaca peron stasiun. Masalah pintu kereta dan pintu pembatas tidak sejajar diduga terkait integrasi sinyal.
Suryadi turut mempertanyakan dasar kajian, sehingga stasiun LRT didesain tanpa tempat parkir. Padahal, ia mengingatkan, seharusnya LRT sebagai transportasi publik bisa mengurangi publik memakai kendaraan pribadi.
"Masyarakat memarkirkan kendaraan pribadi untuk kemudian menggunakan LRT. Sangat aneh jika malah masyarakat harus parkir di tempat yang jauh dan berjalan kaki ke stasiun LRT, sehingga mengurangi kenyamanannya," kata Suryadi.
Ia menambahkan, semua ini seharusnya tidak terjadi bila ada standarisasi yang baik dan perencanaan matang. Maka itu, Suryadi meminta Kemenhub agar lebih serius mengembangkan standarisasi desain perkeretaapian.
Dengan standar yang baik, Kemenhub tidak akan terlalu bergantung pada jasa konsultan proyek, baik domestik maupun asing. Hal ini akan sangat bermanfaat dalam membantu perencanaan proyek perkeretaapian Indonesia.
"Sehingga, terhindar dari kesalahan-kesalahan serupa di masa yang akan datang," ujar Suryadi.