Rabu 30 Aug 2023 19:32 WIB

Marak Caleg Koruptor, Parpol tak Beri Pendidikan Antikorupsi

Parpol masih memajukan eks koruptor jadi caleg tak beri pendidikan antikorupsi.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Bilal Ramadhan
Pejabat Koruptor  (ilustrasi). Parpol masih memajukan eks koruptor jadi caleg tak beri pendidikan antikorupsi.
Foto: Republika
Pejabat Koruptor (ilustrasi). Parpol masih memajukan eks koruptor jadi caleg tak beri pendidikan antikorupsi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen hukum pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini menyoroti partai politik yang tetap mengajukan mantan narapidana korupsi sebagai calon anggota legislatif (caleg) pada Pemilu 2024. Meskipun secara administrasi dibolehkan, tetapi partai politik semestinya memberikan pendidikan politik untuk tidak mengajukan caleg yang pernah terlibat korupsi.

"Dari sisi hukum dimungkinkan tetapi dari sisi pendidikan politik terutama pendidikan anti korupsi ini tidak baik," ujar Titi dalam keterangannya, Rabu (30//8/2023).

Baca Juga

Titi mengatakan, di saat upaya pemberantasan korupsi terus didengungkan, maka sudah semestinya partai politik mengajukan figur-figur yang bebas dari korupsi. Hal ini mengingat Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang mengalami penurunan.

"Karena kan Indonesia Indeks persepsi korupsinya menurun, bahkan presiden Jokowi juga pemerintah terutama mengatakan kita perlu upaya ekstra untuk kemudian memastikan gerakan anti korupsi kita menguat," ujarnya.

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) ini melanjutkan, partai politik sebagai sumber rekrutmen tokoh politik, nantinya menominasikan orang yang akan  mengisi jabatan jabatan publik serta kemampuan mengakses anggaran, mengelola birokrasi hingga melayani publik.

Namun demikian, jika calon yang diajukan ini telah gagal menjalankan kepercayaannya maka hal ini rentan jika diberi amanat kembali.

"Ketika gagal mengelola keuangan negara atau rentan dalam perilaku korupsi atau tindakan koruptif ketika mengelola keuangan negara kembali diberi kesempatan untuk mengakses hal hal yang  sebelumnya dia gagal jalankan itu kan membuat pemilih  dan warga dalam keadaan berisiko akan terdampak kembali pada masalah hukum baru," ujarnya.

Karena itu, Titi menilai parpol yang tetap kekeuh mengajukan calon ni menunjukan parpol tidak berhasil melakukan regenerasi politik berkelanjutan. Sehingga, parpol harus mencalonkan orang-orang yang mempunyai rekam jejak bermasalah secara hukum

"Bukan membatasi mereka untuk berkiprah bagi masyarakat, tetapi ketika mereka sudah gagal secara politik seharusnya parpol menjadi saringan untuk memberikan tempat tempat lain untuk mereka mengabdi," ujarnya.

Sementara di sisi lain, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga menolak mempublikasikan profil atau daftar riwayat hidup dari caleg dari daftar caleg sementara (DCS) karena alasan menunggu daftar caleg tetap (DCT).

Menurut Titi, hal ini ikut berkontribusi dalam maraknya parpol mengajukan kembali caleg yang pernah terlibat korupsi.

"Ini kemunduran ya karena di 2014-2019, profil caleg itu sudah bisa diakses sejak DCS. Bahkan ada banyak sekali inisiatif masy yang bisa dilakukan dengan ketersediaan profil caleg sejak masa DCS," ujarnya.

Karena itu, Titi berharap KPU beritikad baik untuk memberikan askes informasi yang mudah bagi masyarakat terkait caleg yang pernah bermasalah dengan kasus korupsi. Di samping itu, dengan maraknya kasus korupsi saat ini diharapkan mendapat perhatian dari masyarakat agar tidak memilih caleg yang pernah bermasalah.

"Masyarakat dituntut untuk peduli dan ambil peran bukan hanya pergi ke TPS memberikan suara tetapi cermat memeriksa dan memverifikasi latar belakang calon. Apalagi ini kan dinamika kita menuju 2024 tidak mudah," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement