Kamis 24 Aug 2023 23:42 WIB

Stigma Masih Jadi Tantangan Pengobatan Pasien Tuberkulosis

Durasi pengobatan cukup lama membuat pasien TB sering diberhentikan dari pekerjaan.

Layar yang menampilkan hasil pemeriksaan rontgen thorax milik warga di GOR Otista, Jatinegara, Jakarta, Kamis (9/2/2023). Puskesmas Kecamatan Jatinegara mengadakan kegiatan skrining tuberkulosis kepada 65 orang yang meliputi pemeriksaan rontgen thorax, pemeriksaan dahak dan tes mantoux, untuk mengurangi penularan penyakit tuberkulosis paru.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Layar yang menampilkan hasil pemeriksaan rontgen thorax milik warga di GOR Otista, Jatinegara, Jakarta, Kamis (9/2/2023). Puskesmas Kecamatan Jatinegara mengadakan kegiatan skrining tuberkulosis kepada 65 orang yang meliputi pemeriksaan rontgen thorax, pemeriksaan dahak dan tes mantoux, untuk mengurangi penularan penyakit tuberkulosis paru.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Imran Pambudi mengatakan stigma dan diskriminasi masih menjadi tantangan pasien tuberkulosis (TB). Ini menyebabkan mereka enggan menyelesaikan pengobatan.

"Pasien TB tidak mau mulai pengobatan ataupun tidak menyelesaikan pengobatan gara-gara masalah stigma," kata dia dalam webinar “TB-CAPS: Together Reducing Tuberculosis Stigma”, Kamis (24/8/2023).

Baca Juga

Menurut Imran, masalah stigma dan diskriminasi perlu disikapi cukup serius melibatkan tidak hanya petugas kesehatan, tetapi perlu adanya kerja sama dari sektor-sektor lain termasuk komunitas.

"Masih kurangnya pengetahuan masyarakat dan petugas kesehatan dan sering kali pasien menstigma dirinya sendiri, petugas kesehatan (harus) mempunyai perilaku kesadaran jangan menstigma pasien TB," ujar dia.

Menurut Kementerian Kesehatan, stigma terkait TB yang berkembang salah satunya adalah anggapan masyarakat bahwa ini merupakan penyakit masyarakat tidak mampu. Selain stigma dan diskriminasi, pasien TB juga mengalami masalah dalam mengakses layanan TB yang berkualitas. Untuk mengatasi hal ini, Imran mendorong adanya suatu umpan balik dari masyarakat terhadap pelayanan TB yang disediakan pemerintah.

Di sisi lain, dibutuhkan juga data dan informasi terkait hambatan dalam mengakses layanan TB, membuat lingkungan bersahabat bagi pasien untuk menyelesaikan pengobatan dengan baik serta memperkuat komunitas.

Dari segi pengobatan, ini pun menjadi bagian dari tantangan bagi pasien. Menurut Imran, durasi pengobatan cukup lama membuat pasien TB sering disingkirkan atau diberhentikan dari pekerjaan karena dianggap tidak bisa bekerja dengan baik selama masa pengobatan.

Oleh karena itu, nantinya diharapkan adanya pengobatan TB yang memungkinkan pemulihan pasien lebih singkat semisal dua bulan. "Ke depan ada rejimen pengobatan yang hanya dua bulan, dan pasien TB RO itu ke depan harapan kita ada pengobatan yang membutuhkan waktu empat bulan sehingga mereka jadi lebih cepat pulih dan segera kembali beraktivitas," kata Imran.

Menurut Kementerian Kesehatan, merujuk laporan Global TB tahun 2022, diketahui jumlah kasus TB terbanyak yakni pada kelompok usia produktif terutama pada usia 25 sampai 34 tahun. Di Indonesia, jumlah kasus TB terbanyak pada kelompok usia produktif terutama pada usia 45 sampai 54 tahun.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement