REPUBLIKA.CO.ID, oleh Wahyu Suryana, Nawir Arsyad Akbar, Antara
Ragam hasil survei yang dirilis belakangan ini menunjukkan elektabilitas bakal calon presiden (capres) dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan, Anies Baswedan masih berada di bawah Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto. Survei Indikator Politik dan Litbang Kompas yang dirilis pada Agustus 2023 bahkan menyebutkan bahwa elektabilitas Anies dalam tren merosot.
Pengamat politik, A Khoirul Umam mengatakan, semakin tertinggalnya elektabilitas Anies dari Ganjar dan Prabowo tak lepas dari kondisi stagnan koalisi parpol pendukungnya.
"Saat PKS dan Demokrat mengklaim siap mendeklarasikan pasangan capres-cawapres dan membentuk infrastruktur pemenangan Anies, Nasdem justru bersikeras mengulur waktu hingga menit-menit terakhir," kata Umam kepada Republika, Rabu (23/8).
Umam menduga, stagnansi Nasdem kemungkinan besar karena situasi Surya Paloh yang 'tersandera' tangan-tangan kekuasaan yang tidak terlihat. Yang mana, belakangan memiliki hobi menggebuk lawan politik dengan instrumen hukum.
"Karena ketakutannya pada manuver tukang gebug itu, Paloh terus memilih diam, mengulur waktu dan tidak segera memutuskan nasib keberlanjutan pencapresan Anies," ujar Direktur Eksekutif Indostrategic tersebut.
Di sisi lain, Anies yang seharusnya tampil agresif memimpin koalisi kini ikut-ikutan diam menyaksikan koalisinya stagnan. Malah, elektabilitasnya masih terseok-seok pada enam bulan menjelang Pilpres 2024 mendatang.
Bahkan, selaku capres pro-perubahan, Anies Baswedan sendiri belakangan tampak semakin gamang dan tidak cukup keberanian untuk melontarkan kritik kebijakan pemerintahan. Padahal sebelumnya, Anies kerap mengklaim hendak mengubah kondisi saat ini.
Masalahnya, lanjut Umam, stagnansi elektabilitas Anies dan bergemingnya Nasdem betul-betul jadi ujian berat partai-partai pengusung Anies lain. Pertama, terancam tidak mendapatkan efek ekor jas pencapresan Anies.
Lalu, menurut Umam, PKS dan Demokrat tampak mulai gusar setelah merasakan koalisinya tidak ada kemajuan. Tidak ada kesetaraan dalam pengambilan keputusan di internal koalisi dan tampak tidak ada keseriusan untuk bergerak bersama.
Adapun, munculnya wacana Ganjar-Anies sebagai pasangan belakangan ini dipandang sebagai bagian strategi awal pembubaran Koalisi Perubahan. Sehingga, partai yang merasa tidak nyaman bisa segera ke luar dari koalisi.
"Jika ini terjadi, maka deadlock Koalisi Perubahan bukan semata akibat benturan ego elite partai-partai, juga akibat cawe-cawe tangan kekuasaan yang mengunci tangan dan kaki salah satu partai pengusung," kata Umam.
Menurut Umam, jika Koalisi Perubahan masih ingin tampil kompetitif, Anies harus lebih agresif dan memecah kebekuan koalisi. Sebab, pascabergabungnya Golkar-PAN ke Prabowo, konfigurasi parpol pembentuk poros koalisi sudah final.
Jika tetap diam, Anies bisa tidak sadar hampir kehilangan momentum. Anies harus paham kisah sukses di Pilgub DKI 2017 tidak bisa disamakan dan diterapkan kembali dalam kontestasi Pilpres 2024 di Indonesia.
"Seharusnya Anies dan koalisinya bisa bergerak cepat dengan deklarasi capres-cawapres, finalisasi sekber dan bentuk infrastruktur pemenangan. Sehingga, elektabilitasnya kembali kompetitif menjelang Pilpres 2024," ujar Umam yang merupakan Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina itu.