REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI menyatakan angin muson timur yang membawa masa udara kering dari Benua Australia menuju Benua Asia telah meningkatkan efek pencemaran udara di Jakarta.
"Kalau dari segi siklus memang Juni, Juli, dan Agustus itu selalu terjadi peningkatan pencemaran di Jakarta karena dipengaruhi oleh udara dari timur yang kering," kata Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK Sigit Reliantoro dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (11/8/2023).
Sejak 2019 hingga 2023, KLHK mencatat konsentrasi partikulat PM2,5 selalu menunjukkan angka tertinggi saat musim kemarau berlangsung.
Pada 2020, Bloomberg Philanthopics dan Vital Strategies menerbitkan laporan inventarisasi emisi pencemaran udara di Jakarta. Hasil inventarisasi emisi diperoleh bahwa total emisi pencemaran sulfur dioksida mencapai 4.257 ton per tahun.
Sumber penghasil emisi terbesar adalah sektor industri manufaktur dengan angka 2.637 ton per tahun atau setara 61,9 persen.
Sigit menjelaskan, penyebab utama tingginya emisi sulfur dioksida yang dikeluarkan oleh industri manufaktur akibat penggunaan batu bara. Angka penggunaan batu bara hanya empat persen, tapi menghasilkan emisi sulfur dioksida sebesar 64 persen.
Sektor industri energi adalah penghasil emisi sulfur dioksida kedua terbesar dengan angka mencapai 1.071 ton per tahun atau setara 25,17 persen.
Berdasarkan hasil inventarisasi emisi sulfur dioksida di sektor industri energi berasal dari konsumsi bahan bakar minyak dengan rasio emisi bahan bakar minyak dan gas sebesar 27,95 persen.
Pelaksana Tugas Deputi Bidang Klimatologi BMKG Ardhasena Sopaheluwakan menjelaskan saat musim kemarau kualitas udara cenderung kurang baik dan sudah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Masyarakat perlu mencermati siklus harian kualitas udara. Saat malam hari hingga dini hari menjelang pagi, kualitas udara cenderung tinggi dibandingkan siang hingga sore hari.
Ardhasena mengatakan fenomena lainnya yang juga menarik karena Jakarta merupakan wilayah urban dan ditambah musim kemarau. Kondisi itu menimbulkan fenomena lapisan inversi.
Lapisan inversi menahan pengangkatan udara ke atas (konveksi) sehingga dapat mengakibatkan terkumpulnya energi di dekat permukaan dan dilepaskan dalam bentuk thunderstorm yang kuat. Lapisan inversi juga dapat menyebabkan cuaca yang berkabut dan menahan polutan berada di dekat permukaan.
"Sekarang ini musim kemarau ada fenomena lapisan inversi. Ketika pagi cenderung lebih dingin di permukaan dibandingkan di lapisan atas, sehingga mencegah udara untuk naik dan terdispersi. Itu menjelaskan mengapa di Jakarta keliatan keruh di bawah dibandingkan di atas karena setting perkotaan yang dimana kita semua hidup bersama," kata Ardhasena.