Senin 07 Aug 2023 08:51 WIB

HNW: Pemerintah Harus Panggil Sekolah Sediakan Toilet Gender Netral

Politikus PKS HNW meminta pemerintah memanggil sekolah sediakan toilet gender netral.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Bilal Ramadhan
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA. Politikus PKS HNW meminta pemerintah memanggil sekolah sediakan toilet gender netral.
Foto: MPR
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA. Politikus PKS HNW meminta pemerintah memanggil sekolah sediakan toilet gender netral.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah harus peka terhadap masalah yang dapat menjadi pintu masuk diterimanya LGBT di sekolah internasional. Hal ini disampaikan anggota DPR Komisi VIII, Hidayat Nur Wahid, menyusul beredarnya informasi tentang adanya toilet gender netral di sekolah internasional di Indonesia.

Hidayat juga meminta Kemendikbudristek dan Kementerian Agama untuk segera menindaklanjuti info tersebut. Ini untuk menegaskan bahwa Indonesia tidak menerima dan tidak mengakui penyimpangan LGBT sehingga tidak memberi celah tumbuhnya LGBT dan tidak pula memberi fasilitas.

Baca Juga

"Lebih baik pemerintah dalam hal ini Kemenag ataupun Kemendikbudristek serta kepolisian menindaklanjuti informasi Daniel Mananta itu. Mungkin diundang atau diminta klarifikasi. Setelah itu datangi atau panggil sekolah yang dimaksud," kata dia kepada Republika.co.id, Ahad (8/6/2023).

Menurut Hidayat, kemungkinan sekolah internasional itu merujuk pada asas kemanusiaan dengan prinsip non diskriminasi. "Saya tegaskan bahwa itu adalah prinsip yang diberlakukan di negara-negara barat, HAM di negara-negara barat," tuturnya.

Hidayat mengatakan, beberapa negara barat sudah memaksakan masuknya LGBT ke dalam kurikulum pendidikan untuk anak-anak. Ini jelas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 di mana Pasal 31 ayat 3 bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.

Itu ditegaskan kembali pada Pasal 31 ayat 5 UUD 1945 bahwa pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

"Agama sangat dihormati. Bahkan dalam hal pemerintah memajukan teknologi dengan menghormati agama. Maka masuknya LGBT ke dalam dunia pendidikan, apalagi di dunia barat telah dipaksakan masuk ke kurikulum, itu jelas tidak sesuai dengan konstitusi di Indonesia," katanya.

Karena itu, menurut Hidayat, sejak dini seharusnya Kemendikbudristek dan Kemenag harus peka terhadap masalah tersebut. "Kalau itu kemudian dari toilet lalu menyebar ke kurikulum, itu sudah jelas tidak sesuai dengan hukum yang ada di Indonesia dan peraturan perundang-undangan di Indonesia," tuturnya.

Lebih lanjut, Hidayat mengungkapkan, HAM di Indonesia diatur dalam Pasal 28 huruf j ayat 2 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang dalam rangka memberlakukan HAM harus tunduk pada pembatasan yang dibuat oleh Undang-Undang dalam rangka menghormati hak kebebasan orang lain sesuai nilai-nilai agama dan moral.

"Jadi dalih tentang non diskriminasi tidak bisa diterapkan di Indonesia. Itu berlaku di negara-negara barat sana. Di Indonesia tidak. Di Indonesia tidak diskriminatif tetapi tidak berarti menerima penyimpangan hukum, termasuk dalam konteks penyediaan fasilitas untuk LGBT," katanya.

Dia menjelaskan, non diskriminasi dalam konteks Indonesia adalah semuanya diberikan sanksi hukum bila melanggar hukum yang berlaku di Indonesia. "Di Indonesia, HAM-nya bukan liberal, tapi harus tunduk pada undang-undang sesuai nilai agama dan moral serta KUHP," ujarnya.

Dalam obrolan podcastnya bersama Quraish Shihab, Daniel Mananta menceritakan kisah ketika dia mencari sekolah di Jabodetabek untuk anaknya. Lalu datanglah ia ke sebuah sekolah internasional dan mendatangi bagian resepsionisnya. Saat itu Daniel melihat WC untuk laki-laki, perempuan dan gender netral. Ini membuat Daniel terkejut. Hingga ia pun tidak mengajak anaknya ke sekolah itu lagi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement