Rabu 02 Aug 2023 19:48 WIB

Mahfud MD: Pemerintah Pertimbangkan Revisi UU Peradilan Militer

Menkopolhukam Mahfud MD sebut pemerintah mempertimbangkan revisi UU Peradilan Militer

Menko Polhukam Mahfud MD. Menkopolhukam Mahfud MD sebut pemerintah mempertimbangkan revisi UU Peradilan Militer.
Foto: Prayogi/Republika
Menko Polhukam Mahfud MD. Menkopolhukam Mahfud MD sebut pemerintah mempertimbangkan revisi UU Peradilan Militer.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengatakan pemerintah akan mempertimbangkan usulan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 31 tahun 1997 tentang peradilan militer.

"Ya kita catat. Kita catat dulu untuk dipertimbangkan," kata Mahfud di kediaman resmi wapres Jakarta pada Rabu.

Baca Juga

Usulan untuk merevisi UU Nomor 31 tahun 1997 tentang peradilan militer muncul pasca kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa oleh Kepala Badan Search and Rescue Nasional (Basarnas) Marsdya Henri Alfiandi.

"Nanti kita agendakan, kan sudah ada di prolegnas (program legislasi nasional) ya, di prolegnas jangka panjang," ujar Mahfud.

Namun Mahfud sepakat revisi UU tentang peradilan militer perlu segera dibahas. "Nanti lah kita bisa bicarakan, kapan prioritas dimasukkan. Saya sependapat itu perlu segera dibahas," ungkap Mahfud.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyebut revisi UU tentang peradilan militer diperlukan untuk memastikan proses hukum oknum TNI yang melakukan tindak pidana umum diadili lewat peradilan umum.

Selama ini, Koalisi berpendapat UU tersebut sering digunakan sebagai sarana impunitas dan alibi untuk tidak mengadili prajurit TNI di peradilan umum.

"Kalau sekarang yang paling tepat (perkara Kabasarnas) di militer, kalau sekarang ya karena UU No 31 itu masih berlaku sebelum ada UU yang baru, tapi saya percaya TNI bisa objektif, nyatanya kita koordinasi sehari langsung tersangka," tambah Mahfud.

Menurut Menkopolhukam, UU tentang peradilan militer tersebut sebenarnya telah dilengkapi dengan UU No 34 tahun 2004 tentang TNI yang mengatur bila anggota TNI melanggar kepentingan umum maka tunduk kepada peradilan umum.

Kasus korupsi di Basarnas dinilai sebagai pelanggaran atas kepentingan umum, oleh karena itu, walaupun tindak pidana tersebut dilakukan oleh anggota TNI aktif, tetapi sejumlah pihak menyebut sebaiknya diadili di peradilan umum.

Kasus tersebut terungkap setelah penyidik lembaga antirasuah melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada Selasa (25/7) di Cilangkap dan Jatisampurna, Bekasi.

Setelah OTT tersebut, pada Jumat (28/7), Wakil Ketua KPK Johanis Tanak mengakui anak buahnya melakukan kesalahan dan kekhilafan dalam penetapan tersangka terhadap anggota TNI.

Pernyataan itu diungkapkan setelah rombongan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Laksamana Muda Julius Widjojono didampingi Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsekal Muda Agung Handoko beserta jajaran mendatangi gedung KPK.

Kepala Basarnas Marsdya TNI Henri Alfiandi (HA) diduga menerima suap sebesar Rp88,3 miliar dari beberapa proyek pengadaan barang di Basarnas pada rentang waktu 2021-2023.

Ada satu tersangka lain yang juga perwira TNI aktif yaitu Koorsmin Kabasarnas Letkol Adm Afri Budi Cahyanto. Sedangkan tersangka dari pihak sipil adalah Komisaris Utama PT. Multi Grafika Cipta Sejati (MGCS) Mulsunadi Gunawan (MG), Direktur Utama PT IGK (Intertekno Grafika Sejati (IGK) Marilya (MR), dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama (KAU) Roni Aidil.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement