REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Prof Jimly Asshiddiqie menerima gelar Guru Besar kehormatan dari Melbourne University, Australia, Rabu (27/7/2023). Dalam pidato pengukuhan, Jimly menyampaikan keprihatinan atas kemunduran demokrasi di Indonesia.
Eks ketua Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut membacakan pidato berjudul Democratic Regression and the Rule of Law in Indonesia. Jimly mengatakan, ada enam hal yang melanda dunia dan berpengaruh ke kinerja demokrasi dan negara hukum seperti Indonesia.
Dimulai dari kemunculan gelombang rasialisme dan islamophobia di dunia. Meluas ujaran kebencian, permusuhan, disinformasi dan miskomunikasi. Kemudian, adanya gejala deinstitusionalisasi politik.
Lalu, berkembangnya praktik benturan kepentingan antara bisnis dan politik. Muncul kecenderungan baru empat kekuatan baru yang ia sebut macro quadru politica mulai dari state, civil society, market dan media.
"Keenam, ancaman Covid-19 yang dibajak dan disalahgunakan untuk membuat keputusan kenegaraan yang tidak partisipatoris dan abaikan pentingnya prinsip deliberative democracy dan partisipasi publik yang substantif," kata Jimly dalam siaran pers di Jakarta, Jumat (28/7/2023).
Dia menyoroti kemunduran demokrasi dan agenda pemberantasan korupsi di Tanah Air. Jimly mengkritik dan merisaukan kehadiran totalitarian model baru dengan tanda menumpuknya kekuatan politik kepada seorang saja.
Yang mana, lanjut Jimly, seorang itu menguasai jaringan bisnis, industri media dan jaringan sosial masyarakat seperti NGO. Penumpukan kekuasaan itu jadi salah satu yang menimbulkan benturan kepentingan di Indonesia. "Ujungnya amat merusak demokrasi dan tatanan negara hukum Indonesia," ujar Jimly.
Guru Besar Kehormatan didapat Jimly lewat Miegunyah Fellowship Program. Jimly orang ketiga yang pernah mendapat gelar dari Melbourne University setelah Adnan Buyung Nasution (2010) dan Todung Mulya Lubis (2014).