REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah buku berjudul Narasi Mematikan karya pengamat terorisme Noor Huda Ismail resmi diluncurkan pada Kamis (27/7/2023). Buku ini dikemas dalam bentuk kolaborasi banyak pihak yang menjabarkan peran narasi terhadap pendanaan teroris di Indonesia.
"Saya dan narasumber yang telah bersedia berbagi kisah hidup mereka tanpa tekanan apapun, saya menulisnya hanya tiga bulan, tapi risetnya satu tahun. Yang bikin lama adalah karena saya beri kepada credible voice hasil tulisan saya, dan kemudian menanyakan kepada mereka apakah saya doing justice atau tidak, sebab kita ngga bisa bikin celaka narasumber kita," kata Noor Huda dalam perilisan bukunya di Universitas Paramadina, Jaksel, Kamis (27/7/2023).
Narasumber penulisan buku, atau yang Huda sebut credible voice dalam penelitiannya, adalah sosok mantan narapidana teroris (napiter) dari anggota Jamaah Islamiah (JI) dan simpatisan ISIS. Terdapat empat mantan anggota JI, tiga mantan simpatisan ISIS, serta dua istri mantan narapidana terorisme yang diwawancara.
Salah satu narasumber adalah mantan anggota ISIS sekaligus pernah terlibat dalam pendanaan kegiatan teror. Munir Kartono menjadi alat kelompok teror untuk mencari danayang diperuntukan untuk kegiatan teror dalam hal ini ISIS.
Pendanaan terorisme terus mencari cara baru untuk tetap berjalan, apalagi dengan mulai berkembangnya teknologi. Selain itu, upaya pengumpulan dana tidak hanya dilakukan secara konvensional dan tradisional lagi lewat kotak-kotak amal, namun juga memanfaatkan teknologi dan internet.
"Ada model pendanaan seperti ini, dan itu tak banyak dilakukan oleh orang. Saya melakukannya dan memanfaatkan teknologi dan melakukan aksi di dunia maya," kata Munir.
Menurut dia, orang-orang yang terlibat dalam tindak pidana terorisme banyak yang terpelajar dan memiliki kemampuan akan teknologi. Mereka berupaya terus meningkatkan kemampuan teknologinya untuk melakukan aksi pendanaan terorisme. Melalui internet, banyak hal bisa dimonetisasi semisal dengan game maupun judi online.
"Pendanaan merupakan urat nadi dalam tindakan terorisme selain ideologi. Kalau lewat kencleng-kencleng amal di pengajian itu tradisional," kata eks anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) ini.
Munir mengaku tak pernah tahu aliran dana dan penggunaan yang telah dihimpunnya sejak 2010-2015. Kala itu, dia masih mahasiswa jurusan informatika di sebuah perguruan tinggi yang ditangkapnaparat, dan akhirnya dipenjara.
Kemudian, Muni mengetahui bahwa aksi bom bunuh diri di Mapolresta Solo pada 5 Juli 2016, yang pelakunya adalah Nur Rohman, warga Sangkrah, Pasar Kliwon, Solo, Jawa Tengah. Dari situ, Munir makin merasa bersalah.
Munir terjerat kasus bom di Mapolresta Solo pada 2016. Dia berperan sebagai penyalur dana bom bunuh diri yang dilakukan Nur Rohman. Perbuatannya itu membuat ia divonis lima tahun penjara di Lapas Purwakarta dan Lapas Khusus Sentul.
Peristiwa bom bunuh diri kala itu membuat salah satu anggota Provost Polresta Solo Brigadir Bambang Adi Cahyanto (sekarang berpangkat Ipda) menjadi korban. Bambang terluka lantaran saat itu menahan pelaku bersama sepeda motornya yang akan masuk ke halaman Mapolresta Solo.
Munir menjalani hukuman 3,8 tahun dan bebas tahun 2020. Dia lalu menjalani pembinaan di bawah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Setelah bebas dia meminta maaf resmi kepada warga Solo di hadapan Gibran Rakabuming Raka dan Bambang. "Saya ingin menjadi teladan bagi anak-anak saya," ujarnya sembari menangis.
Cerita Munir itu dikemas dalam film dokumenter yang juga digarap oleh Kreasi Prasasti Perdamaian (KPP). Selain menerbitkan buku Narasi Mematikan, pihak KKP juga membuat dokumenter tentang jalan hidup Munir berjudul "Dari Kecewa pada Bapak Menjadi Pendana ISIS."