Kamis 20 Jul 2023 07:02 WIB

Zonasi PPDB, Memeratakan Kualitas ataukah Meratakan Kualitas Sekolah?

PPDB menjadi sorotan utama karena banyak memunculkan kasus.

Orang tua wali murid mencari informasi terkait penerimaan peserta didik baru (PPDB) SMP di Disdikpora Kota Yogyakarta. (ilustrasi)
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Orang tua wali murid mencari informasi terkait penerimaan peserta didik baru (PPDB) SMP di Disdikpora Kota Yogyakarta. (ilustrasi)

Oleh : Agus Rahardjo, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Sejatinya, tujuan utama penerapan sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) adalah untuk memeratakan kualitas pendidikan di Indonesia. Visi ini sungguh mulia. Harapannya, kualitas pendidikan peserta didik di wilayah paling timur Indonesia, Papua, misalnya, bisa sama dengan kualitas siswa yang bersekolah di DKI Jakarta.

Siapa yang tidak bakal mendukung cita-cita mulia ini?! Pendidikan adalah hak bagi seluruh anak-anak bangsa. Dari wilayah paling barat ke timur, selatan ke utara, negara wajib memberikan akses pendidikan. Terlebih, pemerintah dan DPR kini tengah bersemangat untuk menuntaskan Program Wajib Belajar 12 Tahun sesuai amanat Pasal 31 UUD 1945 dan Pasal 34 UU Sisdiknas.

Namun, nyatanya, PPDB terus saja memunculkan persoalan. Tahun ini, kisruh PPDB menjadi sorotan utama karena banyak memunculkan kasus. Persoalan-persoalan mulai terbuka pada penerapan sistem zonasi pada PPDB.

Dugaan kecurangan-kecurangan mewarnai PPDB di Tanah Air. Muara kecurangan itu karena masyarakat yang ingin menempatkan anaknya di sekolah favorit. Setidaknya, para orang tua ingin anaknya bersekolah di sekolah yang dinilai atau dipersepsikan sebagai sekolah yang memiliki kualitas lebih baik.

Para orang tua akhirnya bersiasat untuk bisa memasukkan anak mereka ke sekolah favorit. Caranya, mereka menitipkan anak mereka di zonasi sekolah yang dituju. Muncullah family baru dalam kartu keluarga (KK) hingga adanya KK palsu. Tujuannya hanya satu, menuju sekolah negeri favorit.

Artinya, sekolah negeri yang gratis belum menjamin orang tua menyekolahkan anaknya di tempat itu. Masih ada pertimbangan lain, yakni dipersepsikan favorit dan berkualitas. Berkualitas disini bisa diterjemahkan dari berbagai sudut pandang.

Misalnya, fasilitas yang dimiliki sekolah, tenaga pendidik atau guru, hingga input dari siswanya sendiri. Biasanya, sekolah yang memiliki fasilitas lengkap dan tenaga pendidik bagus ada di sekolah yang berlokasi di perkotaan. Apakah salah orang tua ingin menyekolahkan anak mereka di tempat terbaik? Bagi penulis, jelas tidak salah. Kekeliruan mereka hanya ‘mensiasati’ sistem zonasi pada PPDB.

Menurut penulis, para orang tua dihadapkan pada dilema pendidikan nasional. Di satu sisi, kami para orang tua berharap bisa memberikan pendidikan terbaik bagi generasi penerus kami. Namun, di sisi lain, sebagian dari para orang tua juga harus dihadapkan pada realitas kondisi ekonomi keluarga.

Sekolah swasta

Banyak dari orang tua berpenghasilan lebih dari mencukupi untuk bebas memilih kemana anak mereka disekolahkan. Saat ini, banyak sekolah swasta dengan berbagai embel-embelnya yang bisa menjadi tujuan. Entah Sekolah Islam Terpadu, Sekolah Internasional, atau sekolah yang dimiliki sebuah yayasan.

Sekolah-sekolah itu dengan senang hati menerima peserta didik baru. Hanya saja, mereka yang bisa bersekolah di situ adalah para orang tua yang berduit. Bukan rahasia lagi, betapa mahalnya biaya pendidikan untuk sekolah dasar di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) atau Sekolah Internasional.

Bagi para orang tua dengan penghasilan yang ‘pas-pasan’ bermimpi bisa menyekolahkan anak mereka di sekolah swasta terbaik ibarat mimpi di siang bolong. Ibaratnya, lebih berat kebutuhan untuk makan sehari-hari dibandingkan mengeluarkan sebagian besar penghasilan mereka untuk biaya pendidikan.

Sepengetahuan penulis, biaya tiap bulan bersekolah di SDIT misalnya tak kurang dari Rp 500 ribu. Padahal, UMR di wilayah penulis tinggal hanya di angka Rp 2,1 juta. Jika dihitung dengan gaji sesuai UMR dengan biaya pendidikan di sekolah yang dianggap berkualitas, seperempat penghasilan adalah untuk sekolah. Itu dengan asumsi satu anak yang disekolahkan di SDIT. Bagaimana mereka yang memiliki dua anak? Masa harus membagi separuh penghasilan untuk sekolah?!

Dengan kondisi pas-pasan seperti itu, orang tua dihadapkan pada pilihan sulit. Antara memasukkan anaknya di sekolah berkualitas dengan biaya mahal, atau terpaksa menyekolahkan anak di sekolah seadanya yang sesuai zonasi. Jika melihat kisruh PPDB 2023, agaknya, banyak orang tua yang bersiasat untuk bisa memberikan pendidikan yang berkualitas meskipun dengan berlaku curang. Dibolehkan? Tentu saja tidak!

Namun, yang harus jadi catatan untuk pemerintah adalah jangan memaksakan zonasi tanpa kebijakan lanjutan. Menghapus sekolah favorit sama saja menghapus persaingan untuk siswa. Mereka tak lagi berlomba untuk bisa mencapai sekolah paling nomor satu di kota itu.

Di lain pihak, zonasi hanya menjadi pembatas siswa berprestasi pada jenjang sebelumnya.

Jadi, kita tunggu langkah Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menuntaskan persoalan PPDB. Wakil rakyat di Parlemen Senayan sudah memberi ‘ultimatum’ sistem zonasi PPDB diganti jika pemerintah tak tuntas menyelesaikan persoalan ini hingga akhir Oktober 2023. Sebuah tamparan untuk Mas Menteri Nadiem Makarim.

Jangan sampai cita-cita memeratakan kualitas pendidikan justru berbuah blunder dengan meratakan kualitas rendah pendidikan, bukan kualitas terbaik. Jangan sampai sekolah unggulan justru mengalami down grade akibat penyaringan siswa didasarkan pada zonasi.

Sekolah favorit justru jadi sekolah yang biasa saja. Harusnya, ada peningkatan semakin banyaknya sekolah menjadi unggulan di Indonesia. Jangan sampai jauh api dari panggung untuk pemerataan kualitas pendidikan dengan sistem zonasi PPDB 2023. Jadi, sampai berjumpa lagi di akhir Oktober, Mas Menteri!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement