REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI merespons peringatan yang disampaikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) soal adanya jual-beli pencalonan dalam Pemilu 2024. Bawaslu RI mengaku sulit melakukan penindakan terhadap pelaku praktik politik transaksional itu.
Komisioner Bawaslu RI Puadi menjelaskan, transaksi jual-beli kursi pencalonan masuk kategori mahar politik. Bentuknya adalah pemberian imbalan dari seseorang kepada partai politik agar diusung menjadi calon presiden, calon wakil presiden, maupun calon anggota legislatif.
Puadi menyebut, pemberian mahar politik merupakan perbuatan yang melanggar UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Hanya saja, beleid tersebut tidak memuat norma sanksi bagi pelaku mahar politik.
"Dalam dimensi UU Pemilu, terdapat kesulitan bagi Bawaslu menindak pelaku mahar politik sebab UU Pemilu hanya memberikan norma larangan namun tidak mengatur sanksi," kata Puadi kepada wartawan, Jumat (7/7/2023).
Lain halnya dengan UU Pilkada. Beleid ini, kata Puadi, memuat pasal larangan sekaligus sanksi bagi pelaku mahar politik. Sanksinya adalah pidana paling singkat tiga tahun dan maksimal enam tahun, serta denda abtara Rp 300 juta hingga Rp 1 miliar.
Karena UU Pemilu tidak memuat ketentuan sanksi bagi pelaku mahar politik, maka Bawaslu akan mengutamakan upaya pencegahan.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron lewat keterangan tertulisnya, Jumat, menyebut tantangan Pemilu 2024 adalah masih adanya praktik politik transaksional. "Adanya jual beli kursi pencalonan dan suara pemilih masih dominan. Politik dibuat sangat mahal,” ujarnya.
Praktik politik transaksional itu, kata dia, membuka pemilu menjadi tidak berintegritas. Pada akhirnya, pemimpin yang terpilih adalah orang-orang yang berpotensi melakukan korupsi ketika menjabat.