Sabtu 24 Jun 2023 14:36 WIB

Muhadjir Jadi Cawapres Ganjar, Haedar Nashir: Ruang Politik Lebih Cair

Ketum PP Muhammadiyah dukung presidential threshold 20 persen harus diturunkan.

Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Erik Purnama Putra
Menko PMK Muhadjir Effendy bersama Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir (kanan).
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Menko PMK Muhadjir Effendy bersama Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir (kanan).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Nama Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Prof Muhadjir Effendy masuk dalam bursa calon wakil presiden (cawapres). Tokoh Muhammadiyah tersebut digadang-gadang berpasangan dengan Ganjar Pranowo.

Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir mengatakan, tokoh  dari Muhammadiyah maupun dari komponen bangsa lainnya perlu diberi kesempatan untuk menjadi kandidat yang berpartisipasi pada Pemilu 2024. Hal itu agar dalam kontestasi politik itu tidak hanya fokus pada satu atau dua calon.

"Semua tokoh baik dari Muhammadiyah maupun dari komponen bangsa yang lain perlu diberi kesempatan untuk menjadi calon-calon yang nanti dihitung, direpresentasikan, kemudian di fit and proper test secara publik bahwa kita ini tidak boleh terjebak pada satu atau dua calon. Agar apa? Agar pilihannya banyak," kata Haedar saat ditemui di SM Tower and Convention, Kota Yogyakarta, Sabtu (24/6/2023).

Haedar juga menyebut, masuknya tokoh dari Muhammadiyah maupun dari komponen bangsa lainnya membuka ruang politik yang lebih cair. Muhadjir saat ini menjabat sebagai ketua PP Muhammdiyah. Menurut dia, selama ini, calon presiden maupun calon wakil presiden lebih mengedepankan kader partai politik.

"Kita ini terlalu terfokus wapresnya harus ini, harus itu, capresnya harus dari sini, harus dari situ. Kita kan sudah 20 tahun lebih demokrasi yang reformasi, karena itu ruang itu harus terbuka," ucap Haedar.

Bahkan, menurut Haedar aturan presidential threshold sebesar 20 persen harus diturunkan. Dengan begitu, kandidat untuk bisa diusung dalam pemilu tidak terbatas, dan bisa lebih banyak pilihan. Hanya saja, ia mengakui, kalau calonnya terlalu banyak juga bisa membuat repot masyarakat.

"Tetapi jangan terlalu terbatas juga, sehingga tidak cukup tiga calon. Ke depan bisa enam calon, bisa tujuh calon, enggak apa-apa. Demokrasi jangan terlalu besar-besaran, ingin nanti mutlak besar menangnya dan sebagainya. Justru dalam proses demokrasi yang cair seperti itu, terbuka banyak calon itu proses check and balances itu terbuka," ucap Haedar.

Dia menuturkan, ruang publik bisa semakin tersalurkan jika banyak kandidat maju. Tujuannya agar tidak terjadi apatisme dalam politik. Dari mana pun calon yang diusung dalam pemilu, kata Haedar, harus ditempatkan sebagai anak bangsa dan sebagai milik bangsa Indonesia.

"Jangan lagi menjadi milik satu partai, satu golongan, satu koalisi, karena indonesia terlalu dipertaruhkan hanya pada satu golongan, satu koalisi atau satu partai politik," jelas Haedar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement