Kamis 22 Jun 2023 10:57 WIB

Peninjauan Kembali, Sebuah Koreksi Atas Putusan Hakim

Buku Peninjauan Kembali perlu dibaca oleh para pegiat hukum

Buku Peninjauan Kembali
Foto: Dokpri
Buku Peninjauan Kembali

Oleh: TM Luthfi Yazid*

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Binziad Kadafi adalah seorang penulis dan peneliti hukum yang handal. Salah satu karya Binziad yang banyak menjadi rujukan, misalnya buku berjudul ‘Advokat Indonesia Mencari Legitimasi, Studi tentang Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia’ yang diterbitkan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) tahun 2001.

Baca Juga

Buku tentang advokat tersebut menjadi salah satu, kalau bukan satu-satunya, karya yang mengupas dan menguliti tentang advokat dan sistem hukum di Indonesia, Kode Etik, Eksistensi dan Urgensi Organisasi Advokat. Sebab itu, Daniel S Lev dalam pengantarnya menuliskan bahwa buku tersebut merupakan karya yang dibuat berdasarkan riset yang paling mendalam tentang advokat di Asia Tenggara.

Binziad dikenal sebagai peneliti hukum yang tajam dan aktivis. Alumnus MAN Yogyakarta 1 yang kemudian melanjutkan jenjang sarjananya di Fakultas Hukum UI ini pernah sebagai penggiat di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK). Kini ia menjadi salah satu komisioner di Komisi Yudisial (KY).

Buku karya Binziad yang satu ini yang berjudul Peninjauan Kembali Koreksi Kesalahan Dalam Putusan yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia/KPG (2023) ini pada awalnya adalah sebuah disertasi penulis di Tilburg Law School, negeri Belanda dengan judul ‘Finality and Fallibility in the Indonesian Revision System : Forging the Middle Ground’ yang dipertahankan pada Desember 2019.

Bagaimana praktek dan pengalaman Peninjauan Kembali di Indonesia? Apakah penerapan Peninjauan Kembali di Indonesia konsisten? Bagaimana Mahkamah Agung dalam menyikapi putusan PK?

Terkait PK juga ada satu pengalaman dalam kasus penetapan asset First Travel. First Travel adalah penyelenggara ibadah umroh yang menelantarkan jamaahnya sebanyak sekitar 63 ribu. Jumlah 63 ribu tersebut akhirnya gagal berangkat ke tanah suci, dan kasusnya diproses di pengadilan.

Singkat cerita, di tingkat kasasi, MA memutuskan bahwa asset First Travel disita negara. Ketua majelis hakim di tingkat kasasi adalah Dr. Andi Samsan Nganro. Putusan kasasi bahwa asset First Travel yang berasal dari uang jamaah disita oleh negara mendapatkan banyak kritik, sebab asset tersebut berasal dari jamaah dan bukan dari hasil kejahatan maupun korupsi.

Setelah mendapatkan kritik bertubi-tubi di tingkat PK putusannya berubah bahwa asset First Travel tersebut dikembalikan kepada jamaah. Di tingkat PK yang menjadi juru bicara MA adalah orang yang sama di tingkat kasasi, yaitu Dr Andi Samsan Nganro. Dalam keterangannya Dr Andi Samsan Nganro mengatakan bahwa tidak ada kerugian negara, sebab itu asset dikembalikan kepada jamaah.

Apakah hakim bisa salah dalam membuat putusan? Bukankah hakim dalam membuat sebuah putusan memakai irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”? Bukankah hakim mengatasnamakan Tuhan dalam membuat putusan, meskipun dapat dipertanyakan sejak kapan Tuhan memberi kuasa kepada hakim tersebut? Tentu saja kalau Tuhan tidak akan pernah melakukan kesalahan.

Namun, hakim itu tidak luput dari kesalahan dalam membuat putusan. Karena itu ada mekanisme banding, kasasi dan PK. Hanya saja, konsistensi seorang hakim itu penting. Katakanlah dalam contoh Hakim Agung Andi Samsan Nganro. Di tingkat kasasi ia memutuskan ada kerugian negara dan karenanya disita, namun di level PK ia (sebagai juru bicara MA) mengatakan tidak ada kerugian negara sehingga asset yang tadinya disita untuk negara dikembalikan kepada jamaah. Dari sini saja sudah ada ketidak-konsistensian, meskipun posisi Dr Andi Samsan Nganro di tingkat kasasi maupun PK berbeda.

Karena studi ini fokus pada PK untuk kasus pidana, maka contoh-contoh yang dikemukakan adalah kasus atau perkara pidana. Pernah juga terjadi kesalahan fatal dalam kasus Sengkon-Karta yang kelak kemudian dikenal dengan perkara peradilan sesat. Pada tahun 1974 terjadi sebuah perampokan yang berujung pada pembunuhan di daerah Bojong Sari bekasi. Yang dibunuh adalah seorang pemilik toko yang bernama Sulaiman dan isterinya.

Sebelum meninggal, mengembuskan napas terakhir Sulaiman membisikan nama Sengkon kepada saksi yang membawanya ke rumah sakit. Sandal sengkon juga ditemukan di halaman rumah Sulaiman. Apalagi Sengkon dikampung tersebut dikenal sebagai preman bersama sahabatnya, Karta. Akhirnya Sengkon dan Karta ditangkap sebagai tersangka dan dipidana masing-masing 12 dan 7 tahun. Sengkon banding tapi ditolak, sedangkan Karta tidak banding. Sekian tahun kemudian Sengkon berjumpa dengan sepupunya yang bernama Gunel yang dipenjara karena pencurian.

Kepada Sengkon dan Karta, Gunel mengaku bahwa dialah yang membunuh Sulaiman. Pengakuan tersebut dilaporkan ke polisi dan kemudian disidangkan di PN Bekasi dan Gunel dinyatakan bersalah atas pembunuhan Sulaiman dan isterinya pada tahun 1980 dan divonis 12 tahun penjara (hal. 69).

Apa yang kemudian dilakukan MA? Bulan November 1980, MA dan DPR menyelenggarakan raker untuk mebahas peradilan sesat tersebut dan PK sebagai solusinya. Ketua MA saat itu mengusulkan dibuatkan Perppu tapi usul itu gagal karena tidak ada kegentingan yang memaksa sebagaimana menjadi prasyarat dalam UUD 1945. Akhirnya MA menerbitkan Perma No 1 Tahun 1980 untuk memulihkan nama Sengkon dan Karta akibat peradilan sesat. Dengan Perma tersebut kasus Sengkon Karta diperiksa ulang dan akhirnya keduanya dibebaskan (hal 72).

Perkara-perkara PK pidana dibahas dalam buku penting ini seperti kasus Joko S Tjandra, Pollycarpus Budihari Priyatno, Nyanyu Saodah, Buku dengan tebal 462 halaman ini dibagi kedalam 9 Bab. Kasus Pollycarpus, misalnya, banyak mengundang polemik karena Pollycarpus didakwa sebagai pelaku pembunuhan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir yang meninggal dalam sebuah penerbangan (Garuda)  saat Munir akan melanjutkan studinya ke Utrecht Universitet.

Bab pertama membahas tentang Finalitas dan Falibilitas putusan pengadilan dan kaitannya dengan PK. Bab kedua membahas kerangka hukum dan praktek PK di Indonesia. Bab ketiga membahas area inkonsistensi pengaturan dan praktek PK di Indonesia. Bak empat mewujudkan sistem dan praktek PK yang berfungsi di Indonesia. Bab kelima sampai Bab ketujuh membahas seputar Ni bis in idem danl PK  di Indonesia. Bab kedelapan membahas penilaian menyeluruh terhadap fungsi PK di Indonesia dan Bab terakhir menuju fondasi baru sistem PK di Indonesia.

Hadirnya karya Binziad ini sangat penting di tengah kelangkaan buku yang mengulas tentang PK secara mendalam. Sebab itu kehadiran buku ini sangat penting bagi kalangan mahasiswa, praktisi, akademisi dan masyarakat. Semoga Binziad Kadafi akan terus berkarya dan mencerahkan.

 

(*) Peneliti dan dosen tamu di Gakushuin University, Tokyo (2010-2011), Managing Partner JAKARTA INTERNATIONAL LAW OFFICE (JILO) dan Wakil Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement