REPUBLIKA.CO.ID,
Bawaslu: Laporan Sumbangan Kampanye tak Membebani Partai, tapi Dihapus KPU
JAKARTA -- Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI masih mempertanyakan kebijakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menghapus ketentuan yang mewajibkan peserta pemilu menyampaikan Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK). Menurut Bawaslu, penyampaian LPSDK sebenarnya tidak memberatkan peserta pemilu, termasuk partai politik.
"Memang awalnya mungkin (tujuan penghapusan LPSDK) untuk tidak membebani partai politik, tapi saya kira partai politik punya kemampuan untuk hal itu," kata Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja kepada wartawan di kantornya, dikutip, Kamis (21/6/2023).
"Kan dana sumbangan yang dilaporkan yang resmi, itu tidak membebani partai kok," kata Bagja menambahkan.
KPU RI diketahui tidak memuat pasal yang mewajibkan peserta pemilu menyampaikan LPSDK dalam rancangan Peraturan KPU tentang Dana Kampanye. Komisi II DPR RI pada akhir Mei 2023 lalu menyetujui rancangan peraturan tersebut. Beleid itu akan segera diundangkan.
Padahal, pasal yang mewajibkan LPSDK selalu ada dalam regulasi KPU pada setiap gelaran pemilu dan pilkada sejak tahun 2014. Salah satu alasan KPU menghapus LPSDK adalah pendeknya masa kampanye Pemilu 2024, yakni 75 hari, sehingga sulit menjadwalkan penyampaian laporan.
Ketika LPSDK resmi dihapuskan, maka semua peserta Pemilu 2024, mulai dari pasangan capres-cawapres hingga partai politik, tidak lagi wajib melaporkan sumbangan kampanye kepada KPU segera setelah dana diterima selama masa kampanye. Peserta pemilu hanya wajib menyampaikan dana sumbangan yang diterimanya dalam Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) dan Laporan Penerimaan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK).
Bagja melanjutkan, penghapusan LPSDK akan membuat pihaknya kesulitan mengawasi dana sumbangan kampanye yang diterima peserta pemilu. Sebab, selama ini LPSDK digunakan sebagai data pembanding terhadap LPPDK. Tanpa LSPDK, tentu pihaknya hanya bisa membandingkan laporan awal (LADK) dan laporan akhir (LPPDK).
"Kalau LPSDK dihapus, ya kita bandingkan LADK dan LPPDK. (Padahal) pelaporan di awal atau LADK itu tidak signifikan (gunanya) karena hanya berisikan rekening dana kampanye dan dana masuk di awal kampanye," ujar Bagja.
UU Pemilu mengatur bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya boleh menerima dana sumbangan kampanye maksimal Rp 2,5 miliar dari perseorangan dan maksimal Rp 25 miliar dari kelompok atau perusahaan. Ketentuan serupa berlaku bagi partai politik untuk pembiayaan kampanye pemilihan calon anggota DPR dan DPRD.
Sedangkan calon anggota DPD boleh menerima dana sumbangan kampanye paling banyak Rp 750 juta dari perseorangan dan maksimal Rp 1,5 miliar dari kelompok atau perusahaan. Semua peserta pemilu juga dilarang menerima dana sumbangan kampanye dari hasil tindak pidana dan dari pihak asing.
Bagja menambahkan, penghapusan LPSDK juga akan membuat pemilih kehilangan sumber informasi untuk mempertimbangkan kandidat yang akan dipilih. Adapun LPPDK tidak bisa jadi acuan karena baru disampaikan setelah hari pencoblosan. "Jadinya pemilih tidak ada pertimbangan untuk memilih caleg dan capres," ujarnya.
Kebijakan KPU menghapus LPSDK tidak hanya dikritik oleh Bawaslu RI, tapi juga oleh ratusan organisasi masyarakat sipil hingga partai politik. Namun, KPU mengabaikan semua kritikan itu.
"KPU tetap bertahan kepada konsep gagasan (penghapusan LPSDK) yang sudah dikonsultasikan dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi II DPR," kata Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari di kantornya, Jakarta, Jumat (16/6/2023).
Hasyim mengatakan, penghapusan LPSDK tidak akan mengurangi transparansi dana kampanye para kandidat. Transparansi masih bisa diwujudkan karena ada ketentuan rekening khusus dana kampanye, LADK dan LPPDK.
Selain itu, pihaknya juga membuat inovasi baru bernama Sistem Informasi Dan Kampanye (Sidakam), sebuah kanal bagi para peserta pemilu menyampaikan sumbangan dana kampanye secara harian. Sejumlah pegiat pemilu menilai, Sidakam tidak bisa menggantikan LPSDK karena sifatnya tidak wajib.