Ahad 18 Jun 2023 02:50 WIB

Penenun Sumba Timur Butuh Lahan untuk Budi Dayakan Tanaman Pewarna Alami

Mereka tidak bisa menggunakan sembarang tanaman untuk mewarnai tenun.

Perajin menyelesaikan pembuatan kain tenun Sumba.
Foto: ANTARA FOTO/Anis Efizudin
Perajin menyelesaikan pembuatan kain tenun Sumba.

REPUBLIKA.CO.ID, WAINGAPU -- Sejumlah penenun asal Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), mengatakan membutuhkan lahan dengan kualitas yang baik untuk membudidayakan beberapa tanaman yang akan diracik menjadi pewarna alami pada kain tenun.

"Kalau (daun) nila itu yang bikin warna biru, kadang mudah ketemu karena bisa tumbuh liar. Tapi kalau pohon mengkudu itu harus ditanam," kata Penenun Kampung Raja Praliu, Ari Praliu, di Kampung Raja Prailiu, Sumba Timur, dilansir Antara.

Baca Juga

Wanita yang akrab disapa Mama Ari itu menyebutkan terdapat sejumlah tanaman yang digunakan sebagai pewarna alami tenun. Yakni nila sebagai pewarna indigo atau biru, mengkudu untuk menghasilkan warna merah, mangrove atau mahoni untuk warna cokelat, dan idju untuk warna kuning.

Namun, akibat kurangnya lahan di tempat tinggalnya, meski beberapa tanaman seperti nila bisa tumbuh secara liar, para penenun akan meminta warga lain yang mempunyai nila di pekarangan rumah, atau mencari ke tempat lain. Sedangkan untuk pohon mengkudu, mereka bisa mencari sampai ke luar desa atau memintanya dari orang-orang luar yang menanam di sekitar rumah. Pernah pula, kata Mama Ari, dirinya justru membeli tanaman-tanaman itu.

"Kita tidak bisa menggunakan sembarang tanaman untuk mewarnai tenun, kualitas tanaman yang baik akan mempengaruhi warna pada kain tenun," ujarnya.

Hal senada juga diucapkan penenun lain, Deki Praikundu. Ia bercerita karena lahan yang terbatas, dulu ia sempat membudidayakan banyak pohon mengkudu di kebun samping rumahnya.

Namun kini pohon-pohon itu mati akibat bendungan di wilayahnya sedang diperbaiki dan berdampak pada keringnya irigasi. Akibatnya tidak hanya mengkudu saja, tapi kapas pun ikut jadi sulit untuk dibudidayakan.

"Itu masalahnya di sini, tidak ada lahan untuk budi daya (tanaman pewarna alami). Kalau tidak ada lahan, bagaimana kami mau menenun," ujarnya.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Pengembangan Pemanfaatan Kebudayaan Kemendikbudristek Irini Dewi Wanti mengatakan perlu observasi lebih lanjut bersama kementerian terkait untuk mengetahui jenis lahan seperti apa yang dibutuhkan penenun. Sebab permintaan tersebut berkaitan dengan tugas dari masing-masing kementerian/lembaga yang membidanginya. Bila terkait dengan lahan, sebelum memberikan pendampingan, jajarannya harus berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ataupun Kementerian Pertanian (Kementan).

Nantinya masalah akan segera ditindaklanjuti sambil mengkaji lebih jauh masalah yang penenun hadapi, sehingga pihak pemerintah bisa segera mengantisipasi bila masalah yang menimpa penenun di Sumba Timur juga terjadi pada budaya atau produk lokal lainnya,

"Jadi mereka butuh kita. Kita juga butuh mereka karena manuskrip sebagai salah satu pemenuhan kebutuhan kebudayaan. Supaya kepentingannya ternyata tumbuhan ini memang bisa hidup dan itu yang harus kita kembangkan untuk mendukung sebuah produk tadi," ujarnya.

 

sumber : ANTARA
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement