Jamartin mencontohkan soal konservasi Komodo. Ketika dibuka menjadi destinasi wisata, menurutnya, maka muncul masalah di sana. Hal ini karena pengunjungnya terlalu banyak.
Selain memperhatikan masalah dampak terhadap orang utan, kata Jamartin, ecowisata juga harus mengandung unsur pendidikan. "Jadi harus ada unsur pendidikan tentang orang utan,” katanya.
Diingatkannya, kelemahan ecowisata di Indonesia, selama ini sering diterjemahkan sebagai wisata miskin, berkeringat. Padahal, seharusnya tidak seperti itu. “Jika kita pergi ke Uganda untuk melihat gorila harus bayar 5.000 dolar. Harus antre, sehingga bisa menunggu berbulan-bulan,” kata Jamartin menjelaskan.
Restu BKSDA Kalimantan Selatan
Kepala BKSDA Kalimantan Selatan, Sadhatata N Adirahmanto, mempersilakan jika ke depannya ada arah membangun ecowisata. Dengan catatan, masyarakat bisa mendapatkan manfaat secara langsung. Sehingga masyarakat ikut memiliki konservasi orang utang di Pulau Salat. "Kalau sekarang mereka menjadi penyedia pakan, ke depannya ada manfaat lain yang didapat masyarakat,” kata Sadhatata.
Meski demikian, Sadhatata menegaskan keterkaitan BKSDA Kalsel dengan Pulau Salat lebih pada masalah konservasi satwa liar. Persoalan nantinya akan dikembangkan menjadi ecowisata kewenangannya bukan di BKSDA. Untuk itu Sadhatata menekankan agar jika ada ecowisata, orang utan yang ada di Pulau Salat tidak terganggu.