REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komjen (Purn) Firli Bahuri menyinggung tingkah para pelaku korupsi. Menurut Firli, mereka lebih takut kalau hartanya dirampas oleh negara daripada menjalani hukuman penjara.
Hal tersebut disampaikan Firli merespons kasus dugaan korupsi pembayaran tunjangan kinerja (tukin) di Kementerian ESDM. Tindakan nakal tersebut dilakukan lewat modus manipulasi penulisan nominal uang yang dibayarkan.
"Sampai hari ini para pelaku korupsi itu lebih takut kalau seandainya harta, aset, kekayaannya dirampas oleh negara daripada dia ditahan atau dipidanakan untuk berapa tahun," kata Firli dalam keterangannya di Jakarta pada Sabtu (17/6/2023).
Oleh karena itu, Firli menegaskan, KPK tidak hanya fokus pemidanaan badan terhadap para tersangka. KPK turut menyasar pengembalian kerugian negara sekaligus penyelamatan aset-aset negara.
"Terkait dengan itu maka KPK tentu akan mengembangkan jikalau nanti ini masuk dalam tindak pidana pencucian uang tentu akan kita lakukan (pendalaman)," ujar mantan kepala Badan Pemelihara Keamanan (Baharkam) Polri tersebut.
Firli berencana, menggunakan pasal pencucian uang terhadap para tersangka kasus dugaan korupsi penyaluran tukin di Kementerian ESDM. Dengan demikian, para tersangka bisa kehilangan hartanya kalau KPK mendapat bukti yang memadai.
"Saat ini adalah tidak ada pilihan perkara korupsi, bilamana ada alat bukti yang cukup kita akan lekatkan disertakan dengan tindak pidana pencucian uang," ucap Firli.
Dia juga memandang langkah itu ditempuh guna menghadirkan efek jera bagi para tersangka. Apalagi penggunaan pasal pencucian uang memang terbuka lantaran para tersangka mengubah dan mengelola uang hasil korupsi menjadi barang dan bisnis. "Ini belum berakhir pekerjaan KPK," ucap Firli.
Sebelumnya, KPK resmi mengumumkan 10 pegawai di Kementerian ESDM sebagai tersangka dugaan manipulasi pembayaran tukin. Mereka adalah Subbagian Perbendaharaan Priyo Andi Gularso; pejabat pembuat komitmen (PPK) Novian Hari Subagio; dan staf PPK Lernhard Febrian Sirait.
Kemudian Bendahara Pengeluaran Christa Handayani Pangaribowo, PPABP Rokhmat Annashikhah, Operator SPM Beni Arianto, Penguji Tagihan Hendi, PPK Haryat Prasetyo, pelaksana verifikasi dan perekaman akuntansi Maria Febri Valentine, dan Bendahara Pengeluaran Kementerian ESDM Abdullah. Kini, KPK pun telah menahan sembilan tersangka. Sedangkan Abdullah belum ditahan lantaran sedang sakit.
Kasus ini bermula saat Kementerian ESDM pada periode 2020-2022 merealisasikan pembayaran belanja pegawai berupa tunjangan kinerja Rp 221,9 miliar. Selama periode tersebut para pejabat di perbendaharaan Direktorat Jenderal (Ditjen) Mineral dan Batu Bara (Minerba) yang kini menjadi tersangka, diduga memanipulasi dan menerima pembayaran tukin yang tak sesuai dengan ketentuan.
Priyo diduga meminta Lernhard agar mengolah anggaran tersebut untuk para tersangka. Sehingga terjadi pengondisian dalam Daftar Rekapitulasi Pembayaran dan Daftar Nominatif. Padahal, mereka harusnya mengajukan anggaran pembayaran kinerja sebesar Rp 1,39 miliar. Namun, nominal itu dimanipulasi hingga mencapai Rp 29 miliar atau terjadi selisih Rp 27,6 miliar.
"Bahwa dalam proses pengajuan anggarannya, diduga tidak disertai dengan data dan dokumen pendukung, serta melakukan manipulasi," kata Firli dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Kamis (15/6/2023).
Selisih uang tersebut kemudian dibagi ke-10 orang yang jadi tersangka dengan nominal berbeda. Lernhard mendapatkan uang paling banyak, yakni Rp 10,8 miliar. Sedangkan, Maria Febri Valentine mendapat bagian paling kecil, yaitu Rp 900 juta.
Uang yang diperoleh para tersangka dari praktik curang itu diduga digunakan untuk keperluan pemeriksaan BPK senilai Rp 1,035 miliar hingga dana taktis operasional kantor. Selain itu, mereka juga memakai uang tersebut untuk keperluan pribadi masing-masing. Di antaranya, untuk kerja sama umroh, sumbangan nikah, THR, pengobatan, serta pembelian aset berupa tanah, rumah, voli indor, mess atlet, kendaraan, dan logam mulia.
Akibat perbuatan para tersangka, diduga negara mengalami kerugian mencapai Rp 27,6 miliar. Dari total kerugian negara tersebut, KPK baru menerima pengembalian uang sebesar Rp 5,7 miliar dan logam mulia 45 gram.