REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus penyebaran konten baik video maupun foto intim semakin sering malang-melintang di dunia maya. Hal ini merupakan salah satu risiko ruang digital yang menyangkut keamanan data pribadi. Betuk kekerasan berbasis gender di dunia maya adalah revenge porn dengan korban mayoritas perempuan.
Berdasarkan Komnas Perempuan, revenge porn atau non konsensual sharing of intimate contents adalah tindakan penyebaran materi berbentuk foto ataupun video intim atau privasi milik seseorang secara online tanpa izin, sebagai bentuk usaha balas dendam, dengan tujuan melakukan intimidasi hingga merusak hidup korban, karena sakit hati putus hubungan, bahkan sekadar ingin memeras seseorang.
Kementerian Kominfo bersama GNLD Siberkreasi menyelenggarakan kegiatan Obral Obrol Literasi Digital (OOTD) yang mengangkat topik "Mengenal Revenge Porn, Bentuk Kekerasan Seksual Digital". Kegiatan ini menjadi wadah meningkatkan literasi digital agar masyarakat Indonesia semakin cerdas dalam beraktivitas di dunia maya.
Menurut Devie Rahmawati, yang merupakan Praktisi Literasi Digital dan Vokasi Universitas Indonesia, 4 dari 5 orang biasa menerima gambar-gambar baik dalam bentuknya teks atau foto yang berbau pornografi. Hal ini seolah menjadi umum, karena 80 persen foto atau video teks pornografi yang diterima atau dikirimkan dan menyebar itu biasanya luar kesepakatan orang yang ada di dalam gambar atau video tersebut, dan 20 persennya merupakan bagian dari bisnis pornografi yang tak kalah besarnya sebagai bisnis ekonomi bawah tanah.
Tetapi, korban revenge porn justru mendapatkan stigma negatif dan sering kali jadi pihak yang terpojok, tanpa mendapatkan perlindungan optimal, dan berujung mengakhiri hidup. Karena itu, membagun kesadaran akan dalam masyarakat agar tidak menjadikan korban revenge porn sebagai pihak paling bersalah.
“Untuk membangun kesadaran bahwa hanya masalah waktu siapa pun di antara kita entah kita sebelah kiri entah saudara kita entah ponakan kita sepupu dan sebagainya bisa menjadi korban dari revenge porn yang harus kita lakukan ingat penjahatnya bukanlah orang yang fotonya disebarkan penjahatnya adalah penyebarnya jadi justru sebenarnya kita harus kompak betul untuk memukul dan memberikan apa namanya syiar kepada siapa pun yang melakukan hal tersebut,” ungkap Devie.
Stigma dan ketidakberpihakan juga sering kali mendorong korban untuk mundur, saat akan melaporkan kejadian yang menimpanya. Kerena itu, diperlukan sikap menghargai dan menjaga privasi saat korban ingin melakukan pencegahan dengan melaporkan kasus pada pihak berwenang. Karena itu, korban revenge porn juga harus mendapatkan pendampingan yang optimal, seperti yang diungkapkan Uli Pangaribuan, Direktur LBH APIK Jakarta.
Uli juga menambahkan, faktor psikologis korban juga menjadi perhatian penting, karena diperlukan keberanian tinggi saat melaporkan kejahatan yang menimpa mereka. Karena kondisi psikologis korban maka diperlukan pihak-pihak yang memahami proses pelaporan atau hukum.
“Maka baiknya korban ketika melaporkan kasusnya memang harus didampingi agar prosesnya lebih jelas pelaporannya, lebih jelas pasal yang dikenakan juga lebih jelas. Banyak kasus ketika ini berproses tadi membuat laporan itu bukan hal yang mudah ya buat korban ya. Jadi ini juga suatu hal yang sulit ya ketika dia melapor belum tentu dia juga mendapatkan LP atau Laporan Polisi. Maka, yang harus kita dorong ketika dia memberani melaporkan kasusnya dia juga dia harus dihargai dan diberikan haknya”.
Karena itu, agar hal ini tidak terus terulang maka perlu melakukan tindakan pencegahan, seperti yang diungkap Sun Suna Devi Eshvary atau Alya, selaku content creator dan pengguna aktif media sosial. Menurut Alya, perlu adanya peningkatan pengetahuan akan bahaya revenge porn dan sikap bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukan. Menjaga jejak digital menjadi salah satu langkah penting agar tidak membawa dampak negatif pada lingkungan sekitar, sehingga harus memiliki kesadaran menjaga konten-konten yang dimiliki dengan sebaik mungkin.
“Aware bahwa kemungkinan bahwa konten apa pun yang kita bikin itu sangat mungkin untuk bisa ter-publish gitu. Jadi menurut aku sih itu sih ya betul apalagi yang namanya di device dan laptop ataupun HP gitu walaupun sudah dikunci walaupun udah di password itu tetap ada potensi untuk dicuri atau mungkin diambil sama orang lain.”Ujar Alya.
Alya juga menambahkan, perlu menjaga etika ketika saat mengunggah konten, dan menyadari sepenuhnya bahwa konten yang diunggah memiliki tujuan positif dan tidak merugikan orang lain. Sosial media sudah menjadi bagian dari kehidupan kita, apapun yang tuangkan ke sosial media itu akan melekat di sana selamanya. Jika berani bertindak maka harus bisa tanggung jawab.