REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Koentjoro, menilai keterbukaan akses informasi menjadi penyebab kerap munculnya kasus kekerasan seksual terhadap anak. Melalui internet, anak-anak bisa saja secara bebas berselancar di laman yang menayangkan konten seks.
"Covid-19 kemarin itu semakin mengajarkan kita kalau keterbukaan-keterbukaan itu dilakukan masing-masing pihak, artinya banyak orang yang kemudian dulunya tidak pernah membuka situs apa sekarang mulai buka," kata Prof Koentjoro kepada Republika, Kamis (1/6/2023).
Prof Koentjoro mengatakan konten-konten seks yang didapatkan seseorang melalui hasil penelusuran di dunia maya dapat menimbulkan adiksi (kecanduan). Menurutnya anak-anak usia remaja yang sudah terjebak dalam prostitusi bukan lagi mengejar uang, melainkan untuk memenuhi rasa candu yang timbul di diri mereka. "Tujuannya bukan lagi uangnya, tapi karena mereka sudah sex oriented," ucapnya.
Ia menuturkan bahwa seks itu tidak tiba-tiba muncul. Karena itu peran orang tua untuk mendidik anaknya sejak kecil dengan pendidikan agama dinilai penting. Namun ia menyayangkan pendidikan agama yang terlalu menekankan reward punishment. Menurutnya perlu ada diskusi yang dibangun sehingga anak tahu mana yang tidak boleh dilakukan. "Orang tua bertanggung jawab untuk didik di situ," ungkapnya.
Selain itu dirinya juga menyoroti kurangnya literasi di kalangan masyarakat tiap kali menghadapi perubahan sosial. Adanya kemunculan internet, misalnya, masyarakat hanya diajarkan bahwa media sosial bisa digunakan untuk belajar, tapi tidak pernah diingatkan bagaimana bahaya penggunaan internet.
"Misalnya listrik masuk desa, yang diajari opo? Ben ora kesetrum (supaya tidak kesetrum), listrik murah. Tapi tidak melihat bahwa listrik masuk desa bisa digunakan untuk porno, macem-macem," kata dia.
Oleh karena itu, menurutnya penting literasi masyarakat dilakukan melalui kegiatan kuliah kerja nyata (KKN) untuk mengedukasi masyarakat.