REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Rencana revisi UU 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang salah satu tujuannya membuka ruang lebih luas dalam penempatan prajurit aktif di lembaga sipil, akan membuka tabir gelap dwifungsi ABRI pada era orde baru.
Pada masa orde baru, menurut Daniel, dwifungsi ABRI di era Orde Baru tidak hanya di lingkup jabatan politik pemerintahan, tetapi juga masuk pada lembaga pendidikan. "Dulu jabatan rektor, bupati sampai gubernur itu diisi oleh kalangan militer aktif," kata Daniel, dalam siaran pers, Rabu (31/5/2023).
Pernyataan itu disampaikan saat diskusi bertajuk 'Telaah Kritis Revisi UU TNI dalam Perspektif Politik, Hukum, dan Keamanan'. Kegiatan ini dilakukan di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, Rabu (31/5/2023).
Pelaksanaan dwifungsi ini kemudian ditolak oleh gelombang gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil melalui Gerakan Reformasi 1998. "Alasannya, karena pelanggaran HAM terbesar zaman Orde Baru dilakukan oleh kalangan ABRI. Amanat penghapusan Dwifungsi ABRI itu kemudian ada di TAP MPR 6 dan 7 Tahun 2000,” kata dia memaparkan.
Akademisi Universitas Brawijaya, Milda Istiqomah, dalam diskusi itu menyoroti soal substansi pasal yang multitafsir dalam draf revisi UU TNI. Salah satu satunya Pasal 17 terkait penambahan tugas pokok dan fungsi TNI.
"Yaitu, untuk mendukung pemerintah dalam upaya menanggulangi ancaman terorisme, menanggulangi ancaman cyber, dan mendukung pemerintah dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif, mengamankan pembangunan, ini sangat luas dan multitafsir,” papar dia.
Lebih penting dari soal substansi, Milda juga mengingatkan agar wacana itu terus dikawal. Menurut dia, sudah ada rekam jejak pembahasan proses perundang-undangan dilakukan tertutup dan minim partisipasi publik. "Maka dari itu, dari perspektif hukum, harus kita waspadai proses revisi UU TNI ini bisa dilakukan secara tertutup atau diam-diam,” kata Milda.