REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Penerapan Pasal 352 KUH Pidana terkait kasus dugaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan Bukhori Yusuf (BY) terhadap istri keduanya inisial M, dinilai tak cukup. Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH-APIK) Ratna Batara Munti mengatakan, penyelidikan di Bareskrim Polri harus berani memproses hukum kasus yang diduga dilakukan mantan anggota Komisi VIII DPR itu, mengacu sangkaan-sangkaan yang ada dalam Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
“Akan sangat ringan jika di kepolisian, khususnya di Mabes Polri (Bareskrim Polri) ini, akhirnya hanya menggunakan Pasal 352 KUHP. Pasal tersebut (352 KHU Pidana) hanya terkait dengan penganiayaan ringan,” kata Ratna saat dihubungi Republika, dari Jakarta, pada Senin (29/5/2023).
“Sementara apa yang dialami oleh korban M ini, adalah penganiayaan yang sangat berat, yang harus dijerat bukan hanya dengan KUHP, tetapi juga menggunakan pasal-pasal yang ada dalam Undang-undang PKDRT, dan TPKS,” kata Ratna.
Penggunaan pasal-pasal dalam UU 23/2004 PKDRT terkait dengan dugaan perbuatan BY yang melakukan tindak pidana kekerasan fisik, dan psikologis terhadap korban M selama berumah tangga. Dan penjeratan sangkaan-sangkaan dalam UU 12/2022 TPKS terkait dengan dugaan perbuatan BY yang melakukan kekerasan seksual terhadap korban M.
“Bukti-bukti mengenai tindak pidana kekerasan fisik, dan kekerasan seksual yang dilakukan oleh terlapor BY terhadap pelapor M ini ada banyak. Mulai dari rekaman pembicaraan, komunikasi via chat antara keduanya, juga dokumentasi foto-foto dan video yang itu sudah pernah disampaikan ke Polrestabes Bandung,” ujar Ratna.
Kekerasan fisik yang diduga dilakukan oleh BY terhadap M tersebut, beragam bentuk. Mulai dari pemukulan dengan tangan, sampai pada penganiayaan lainnya yang berujung M mengalami pendarahan, dan keguguran.
Ragam kekerasan fisik tersebut, menurut Ratna, semakin kumulatif pada bentuk psikologis yang mengancam korban M sempat nekat bunuh diri. Adapun bentuk kekerasan seksual yang diduga dilakukan BY terhadap M, berupa paksaan dalam berhubungan suami-istri yang juga berujung pada pendarahan.
“LBH sudah melihat bukti-bukti yang disampaikan dan diceritakan oleh korban M saat kasus ini masih ditangani di Polrestabes Bandung,” kata Ratna.
Ratna menerangkan, awal mula kasus ini, memang dalam pendampingan LBH APIK sejak korban M dengan sendirian melaporkan BY ke Polrestabes Bandung, pada 8 November 2022 lalu. “Pelaporan yang dilakukan oleh korban M secara sendirian ini, patut untuk didukung. Umumnya sangat jarang perempuan yang berani menceritakan tentang kekerasan yang itu dilakukan oleh suaminya sendiri. Karena perempuan, di kita, biasanya menutup apa yang dia alami itu sebagai aib,” ujar Ratna.
Sebab itu, LBH APIK turut mendampingi korban M selama proses awal penyelidikan kasus tersebut. LBH APIK juga terlibat pendampingan dalam berbagai permintaan keterangan oleh tim penyelidikan Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di Polrestabes Bandung sejak Desember 2022. Bahkan kata Ratna, LBH APIK yang merekomendasikan kasus ini harus ditangani oleh Bareskrim Polri.
Karena untuk efisiensi penyelidikan atas dugaan rangkaian perbuatan BY yang terjadi di tiga lokasi terpisah. Yakni rangkaian di Jakarta, Depok, dan Bandung. Pelaporan di Polrestabes Bandung, sempat mangkrak berbulan-bulan karena alasan penyelidikan oleh kepolisian setempat tak melihat hubungan antara BY dengan M sebagai suami-isteri yang sah dan tercatat di negara.
“Karena alasan itu Polrestabes Bandung hanya menerapkan Pasal 352 KUHP, terkait penganiayaan ringan. Dan disebut itu bukan KDRT,” ujar Ratna.
Padahal dikatakan Ratna, ada banyak bukti-bukti yang meyakinkan hubungan suami-istri keduanya, BY dan M dilakukan lewat perkawinan agama. “Dan itu (perkawinan agama) bisa dibuktikan dengan saksi-saksi, dan bukti-bukti dari keterangan tetangga yang melihat BY dan M hidup bersama-sama satu rumah. Bahkan korban M, juga sempat mengandung anak BY,” kata Ratna.
“Juga ada dua keputusan pengadilan atau jurisprudensi dari hakim yang menjadi dasar hukum bagi penyelidikan kepolisian untuk melanjutkan kasus tersebut ke penyidikan terkait KDRT, meskipun pernikahan keduanya (BY dan M) hanya dilakukan lewat perkawinan agama (siri),” ujar Ratna.