Sabtu 20 May 2023 14:47 WIB

Belajar dari Pandemi: Kelola Risiko Kesehatan di Lingkungan Masyarakat

Pandemi Covid-19 jadi pengalaman semua orang untuk mau menerapkan pola hidup sehat.

Rep: Antara/Erik PP/ Red: Erik Purnama Putra
Warga berjalan kaki mengelilingi Taman Sempur, Kota Bogor, Jawa Barat, Ahad (20/3/2022).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Warga berjalan kaki mengelilingi Taman Sempur, Kota Bogor, Jawa Barat, Ahad (20/3/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KTT ASEAN 2023 di Labuan Bajo, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 9-11 Mei 2023 yang mengusung tema 'ASEAN Matters: Epicentrum of Growth' menunjukkan pentingnya upaya semua negara untuk fokus pada peningkatan kualitas kesehatan bagi masyarakatnya. Saat itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendorong kepemimpinan dan kemitraan kawasan ASEAN untuk kerja sama kesehatan global.

Menurut Jokowi, kesenjangan kapasitas kesehatan tidak dapat dibiarkan dan anggota ASEAN perlu kemitraan yang saling memberdayakan. "Anggota ASEAN juga harus menjadi bagian rantai pasok kesehatan global, termasuk pusat manufaktur dan riset," kata Jokowi.

Indonesia sebagai salah satu pendiri ASEAN dan tuan rumah KTT ASEAN 2023 sedang fokus untuk terus meningkatkan kualitas kesehatan masyarakatnya. Salah satu yang dilakukan adalah dengan mengembangkan upaya terapi untuk berbagai penyakit, seperti kanker dan penyakit tidak menular lainnya. Sejak tahun 1980-an hingga saat ini, terapi kanker dilakukan melalui imunoterapi.

 

Walau sudah ada imunoterapi, penyakit kanker masih terus menghantui masyarakat Indonesia. "Hal ini juga diperparah dengan faktor risiko, seperti polusi udara, perilaku berisiko, stres serta gaya hidup masyarakat yang kurang sehat akibat mengonsumsi makanan berminyak maupun merokok," jelas dokter spesialis onkologi medik Hary Gustian di Jakarta, Sabtu (20/5/2023).

Menurut dia, masyarakat perlu mengenali dan mengelola risiko kesehatan di lingkungannya yang dapat berpotensi menimbulkan penyakit menular maupun tidak menular. Pandemi Covid-19 menjadi pengalaman berharga semua orang untuk mau belajar menerapkan pola hidup sehat, serta mengelola risiko kesehatan dan menghindari perilaku berisiko.

Harry menjelaskan, upaya pencegahan dan edukasi bahaya penyakit tidak menular terus dilakukan oleh tenaga kesehatan dan juga berbagai pihak. "Namun, jika masih banyak masyarakat yang masih tidak aware atau masih tetap melakukan gaya hidup dan perilaku yang berisiko, maka upaya pengurangan risiko adalah pilihan terbaik yang dapat dilakukan," ujar Hary.

Oleh karena itu, ia mendorong dokter dan tenaga kesehatan untuk mempertimbangkan, mempelajari, dan menggunakan pendekatan less risk dibandingkan dengan zero risk. Pada prinsipnya, pendekatan less risk membantu masyarakat mengenali secara sadar risiko dari kebiasaan yang dilakukan dan kemudian secara bertahap mengurangi risiko tersebut.

Vaksin, penggunaan masker ketika menggunakan kendaraan umum, memakan makanan rendah garam dan gula, hingga produk tembakau alternatif yang telah terbukti secara ilmiah memiliki risiko yang lebih rendah dari rokok, merupakan contoh dari penanganan risiko atau pengurangan bahaya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement