Jumat 28 Apr 2023 01:06 WIB

Pengamat Ragu Harta Kekayaan tak Wajar AKBP Achiruddin Hasibuan Diusut Tuntas

AKBP Achiruddin melaporkan LHKPN terakhir pada 2021 dengan jumlah yang sama pada 2011

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Agus raharjo
Konferensi pers kasus penganiayaan anak AKBP Achiruddin terhadap mahasiswa di Polda Sumut, Selasa (25/4/2024)
Foto: Dok tangkap layar
Konferensi pers kasus penganiayaan anak AKBP Achiruddin terhadap mahasiswa di Polda Sumut, Selasa (25/4/2024)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto tidak yakin jika kasus viralnya harta kekayaan tak wajar AKBP Achiruddin Hasibuan akan diusut tuntas. Bambang menilai sulitnya mekanisme pembuktian aset dari aparatur negara, terlebih kasus yang menyangkut penegak hukum.

"Dengan kultur yang ada saat ini, dimana korsa dipahami sebagai upaya saling menutupi aib dan pelanggaran-pelanggaran akibatnya proses lidik sidik, akan susah berjalan atau berputar-putar yang memakan waktu lama dan energi yang besar," ujar Bambang dalam keterangannya kepada Republika.co.id, Kamis (27/4/2023).

Baca Juga

Bambang menyebut beberapa kasus gaya hidup mewah sejumlah anggota Polri yang diungkap warganet sebelumnya yang tidak berlanjut. Diantaranya gaya hidup mewah Kasatlantas Polres Malang baru-baru ini yakni AKP Agnis Juwita Manurung.

"Klarifikasinya terkait gaya hidup tersebut dari hasil pinjaman. Dan kasusnya berhenti begitu saja. Padahal meminjam pada siapa dan kapan itu juga bisa dikejar bila ada niat baik dan dipaksa melalui UU pembuktian terbalik," ujar Bambang.

Karena itu, tidak menutup kemungkinan kasus AKBP Achiruddin juga akan berakhir demikian. "Dalam kasus Achirudin ini nanti tak menutup kemungkinan, Harley Davidson dan rubiconnya adalah pinjaman teman," ujarnya.

Karena itu dia menilai perlunya Undang-undang pembuktian terbalik terkait perolehan harta aparatu negara di samping juga UU perampasan aset yang diperoleh karena kejahatan. "Makanya UU perampasan Aset tersebut harus berjalan seiring dengan UU pembuktian terbalik," ujarnya.

Selain itu, meskipun terdapat mekanisme laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang wajib bagi setiap aparatur negara, termasuk anggota Polri, tetapi tingkat kepatuhan dan pengawasannya kurang. "Faktanya LHKPN hanya formalitas saja karena diisi secara sukarela oleh yg bersangkutan tanpa ada proses cek ricek," ujar Bambang.

Hal ini juga ditambah dengan tidak adanya sanksi bagi mereka yang tidak menyampaikan LHKPN maupun mereka yang menyampaikan secara tidak benar. Sebab, secara undang-undang tidak ada ketentuan sanksi jika ASN hingga pejabat negara tidak melaporkan harta kekayaannya di dalam LHKPN.

Karena itu, Bambang tidak heran jika kemudian banyak kasus gaya hidup pejabat maupun anggota Polri yang bermunculan tidak sesuai dengan LHKPN. "Makanya kalau muncul kasus-kasus menyangkut perbedaan yang sangat mencolok antara harta sebenarnya dengan yang dilaporkan itu menjadi hal yang biasa-biasa saja. Karena nyaris tak ada sanksi bagi yang melanggar," ujar Bambang.

Sebelumnya, gaya hidup mewah Achiruddin disorot usai viralnya kasus penganiayaan putranya. Dari penelusuran situs e-LHKPN, Achiruddin terakhir melaporkan kekayaannya ke KPK pada 2021. Saat itu dia menjabat sebagai kanit 1 subdit 1 Direktorat Reserse Narkoba Polda Sumut.

Dalam LHKPN yang Achiruddin laporkan pada 24 Maret 2021, dia tercatat memiliki total kekayaan sebesar Rp 467.548.644. Menurut laporan itu, dia hanya mempunyai dua aset, yakni tanah seluas 556 meter persegi di Kota Medan senilai Rp 46.330.000. Kemudian, Achiruddin juga punya mobil Toyota Fortuner senilai Rp 370 juta. Selain itu, Achiruddin memiliki kas dan setara kas senilai Rp 51.218.644. Dia tercatat tak mempunyai utang.

Di samping itu, Achiruddin sebelumnya telah melaporkan kekayaannya pada 2011 atau sempat tak melapor selama 10 tahun. Berdasarkan situs e-LHKPN, saat itu dia masih menjabat sebagai kepala Satuan Narkoba Polres Binjai. Namun, jumlah kekayaannya pada 2011 sama persis dengan yang dilaporkannya saat 2021, yaitu Rp 467.548.644. Meski demikian, perincian LHKPN 2011 itu tak dapat diakses karena situs KPK menyebut data tidak bisa ditemukan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement