Senin 24 Apr 2023 03:56 WIB

Tiga Pelajaran Penting dari Kasus Lampung

Kritik itu adalah obat untuk memperbaiki kinerja pemerintahan agar lebih baik.

Tangkapan layar konten Tiktoker Bima Yudho Saputro tentang Provinsi Lampung.
Foto: Tiktok/@awbimaxreborn
Tangkapan layar konten Tiktoker Bima Yudho Saputro tentang Provinsi Lampung.

Oleh : Teguh Firmansyah, Jurnalis Republika.co.oid

REPUBLIKA.CO.ID, Lampung baru-baru ini kembali menjadi pembicaraan hangat publik. Bukan karena segudang prestasi atau inovasi, melainkan respons pemerintah daerah terhadap kritik Tiktoker Bima Yudho yang dinilai tidak tepat.

Respons pemerintah dengan menghubungi langsung orang tua Bima dianggap sebagai sebuah respons berlebihan. Apalagi dengan kehadiran polisi yang meski tidak ada tekanan, tetap saja memberikan sinyal atau sebuah respons atas kritikan terhadap Bima.

Pun halnya aduan seorang pengacara 'dekat' dengan Gubernur Lampung yang melaporkan Bima ke polisi semakin memperumit masalah. Semua ini menunjukkan adanya respons yang tak biasa terhadap sebuah kritik.

Salah satu kritikan yang cukup tajam dari Bima yakni menyangkut infrastruktur Lampung. Jalanan di Lampung banyak yang rusak dan tambal sulam.  

Sebenarnya kritikan yang disampaikan oleh Bima bukanlah hal baru.  Karena, sudah menjadi rahasia umum bagi warga Lampung terutama di pelosok daerah, banyak jalan yang memang tidak diperhatikan. Seperti halnya di Rumbia ketika jalanan berubah menjadi kubangan lumpur saat musim hujan. Begitu di daerah Mesuji atau Tulang Bawang.

Bedanya, kritikan yang disampaikan Bima kini viral, sehingga menarik perhatian nasional. Politikus senayan, pengamat, hingga pengacara kondang sekelas Hotman Paris ikut mengomentari.

Kritikan bertubi-tubi dilesakkan baik ke arah Pemprov Lampung, Gubernur Lampung Arinal, hingga pejabat-pejabat di Lampung. Semua 'kekurangan' diumbar ke publik, tidak hanya di ranah pemerintah, tapi juga ke individu. Termasuk gaya hidup mewah sejumlah pejabat Lampung.

Lantas apa yang bisa kita ambil dari kasus Lampung ini?

Pertama sebagai seorang kepala daerah, gubernur harus menempatkan dirinya sebagai wakil rakyat, bukan raja. Sebagai wakil rakyat, maka ia harus menerima kritikan-kritikan itu sebagai bahan masukan untuk memperbaiki pemerintahan. Meski sindiran itu disampaikan dengan bahasa yang kurang pas.

Boleh dikatakan kritik itu adalah obat. Walau pahit, ia dapat menyembuhkan penyakit. Bukan puji-pujian dari lingkaran kekuasan yang justru melenakan. Puji-pujian itu justru menjauhkan pemimpin dari sebuah realita.

Karena itu kritik yang disampaikan Bima, sejatinya bukan direspons dengan memanggil orang tua atau mendatangkan polisi, melainkan dijawab dengan sebuah kebijakan publik yang terstruktur, terencana, terlaksana dengan baik.  

Keberhasilan-keberhasilan pembangunan lalu disampaikan ke publik secara transparan. Dari mulai program hingga penggunaan anggaran. Jadi tidak perlu marah atau kesal.

Kedua, kasus ini mengajarkan kita untuk fokus dalam pembangunan daerah. Apa saja yang menjadi kekurangan dan langkah apa yang perlu dilakukan. Selama ini banyak pemerintah daerah yang tidak memiliki fokus anggaran secara jelas. Kebanyakan anggaran habis untuk membiayai gaji pegawai.

Sebut saja pada 2023, anggaran belanja pegawai pemerintah daerah Lampung sebesar Rp 2,1 triliun. Sementara belanja modal peralatan dan mesin hanya Rp 115,93 miliar. Bak peribahasi, angka itu 'Jauh panggang dari api.'

Memang semua pembangunan tidak bisa mengandalkan APBD. Harus ada skema lain untuk memperbaiki infrastruktur jalan yang rusak. Tapi lagi-lagi, hal itu sepenuhnya tergantung dari komitmen pemerintah daerah setempat dalam mencari skema lain.

Pemerintah daerah juga perlu memastikan bahwa penegakkan hukum tidak tebang pilih. Tidak ada kelompok tertentu yang lebih superior di atas hukum. Dan yang tak kalah penting adalah menjaga stabilitas dan keamanan daerah. Tanpa hal tersebut maka investasi akan sulit masuk, dan ekonomi berjalan tersendat-sendat.

Ketiga, pembelajaran yang bisa diambil dari Lampung yakni perlunya penguatan pengawasan di provinsi. Sejatinya anggota DPRD, menjadi kekuatan penyeimbang dari eksekutif di daerah, bukan sebaliknya hanya sekadar 'cing-cay cing-cay'.

Dewan harus memainkan perannya sebagai penyambung lidah rakyat, bukan kepanjangtanganan koorporasi atau oligarki. Dewan harus berani mengkritik agar tidak masuk angin. 

Salah seorang teman di Lampung mengatakan, fungsi DPRD kini telah digantikan oleh 'Bima' seorang.  Meski ada kalimat Bima yang tak pantas, tapi ia telah menyampaikan fakta sebenarnya. Bima mengungkap 'borok' yang selama ini sudah menjadi rahasia umum.

Lampung memang bukan, satu-satunya provinsi yang punya segudang masalah. Tapi dari Lampung ini kita belajar bahwa untuk menjadi lebih baik tidak perlu viral terlebih dahulu. Menjadi populer tidak perlu ribut-ribut, Jadilah provinsi yang dikenal akan inovasi dan ragam keunggulan, bukan terkenal karena banyak masalah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement