Sabtu 22 Apr 2023 08:15 WIB

Kementerian ESDM: Pulau Jawa Paling Rentan Mengalami Pergerakan Tanah

Kementerian ESDM sebut Pulau Jawa paling rentang mengalami pergerakan tanah.

Jalan alternatif Bogor-Cianjur terdampak pergerakan tanah di Kampung Cibitung, Desa Wargajaya, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Foto: Dok BPBD Kabupaten Bogor
Jalan alternatif Bogor-Cianjur terdampak pergerakan tanah di Kampung Cibitung, Desa Wargajaya, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan Pulau Jawa paling rentan mengalami pergerakan tanah dibandingkan pulau-pulau lain di Indonesia.

"Sebaran longsor di Indonesia sebanyak 60 persen di Pulau Jawa. Pulau Jawa memang sangat rentan," kata Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Sugeng Mujiyanto.

Baca Juga

Sepanjang 2021, angka kejadian gerakan tanah di Indonesia tercatat sebanyak 1.091 kejadian dan menyebabkan 357 orang meninggal dunia. Pada 2022, lanjutnya, kejadian longsor di Indonesia mencapai 1.085 kejadian dan mengakibatkan 210 orang meninggal dunia.

Sedangkan periode 1 Januari 2023 sampai 24 Maret 2023, kata dia, tercatat ada 215 kejadian gerakan tanah yang menewaskan 84 orang.

Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Hendra Gunawan menjelaskan topologi Pulau Jawa banyak bergelombang dan terjal, terutama Provinsi Jawa Barat. Hal itu yang menyebabkan Pulau Jawa rentan mengalami kejadian gerakan tanah.

Selain itu, lanjutnya, tingkat pelapukan batuan vulkanik juga banyak di Pulau Jawa. Batuan vulkanik itu cukup rentang bila berinteraksi dengan curah hujan yang cukup tinggi.

"Apabila ini berinteraksi dengan kondisi lereng, kondisi batuan, dan kondisi curah hujan, maka hal inilah yang memicu terjadinya gerakan tanah," kata Hendra.

Tak hanya itu, menurut dia, Pulau Jawa yang padat penduduk juga berkontribusi terhadap jumlah gerakan tanah. Kondisi itu terjadi karena lereng-lereng yang berpotensi terjadi gerakan tanah sudah menjadi tempat tinggal penduduk. Padahal kejadian gerakan tanah memiliki jeda 10, 20, bahkan 30 tahun.

"Pada saat masyarakat tinggal di sana tidak ada gerakan tanah, bukan berarti dalam waktu 20 sampai 30 tahun tidak akan terjadi (gerakan tanah)," jelas Hendra.

Ia mengatakan pemanasan global turut memperparah kejadian gerakan tanah di suatu wilayah karena cuaca ekstrem meningkatkan volume curah hujan.

Oleh karena itu, Badan Geologi selalu mencatat semua kejadian gerakan tanah yang terjadi di setiap daerah di Indonesia dan membuat peta-peta perkiraan dalam skala yang lebih memadai.

Peta perkiraan gerakan tanah itu terbit setiap bulan dengan pendistribusian informasi dikirim ke seluruh bupati dan juga melalui laman resmi Badan Geologi.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement