REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra meminta ada larangan ketat tentang iklan dan promosi rokok di Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan demi melindungi anak dari paparan negatif zat adiktif tersebut.
"Tidak ada perubahan terkait penanganan paparan iklan rokok pada anak-anak, karena pemerintah di daerah berkewajiban memberikan perlindungan optimal kepada setiap anak, tetapi tidak mengatur sampai dengan iklan promosi dan sponsor (IPS) rokok," kata Jasra pada acara diskusi tentang RUU Kesehatan bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (14/4/2023).
Jasra mengatakan, saat ini rata-rata usia perokok anakmulai umur tujuh sampai delapan tahun, dan mereka mulai merokok karena melihat iklan di dalam jaringan (daring) .
Dia menekankan poin-poin penting yang mendorong advokasi anak pada RUU Kesehatan, yakni peringatan iklan bergambar rokok ditingkatkan hingga 90 persen, harus ada aturan tentang iklan rokok di media baru termasuk internet.
Kemudian bagaimana agar RUU Kesehatan sejalan dengan semangat di daerah yang mengembangkan kawasan tanpa rokok untuk melindungi anak-anak.
Saat ini, KPAI sudah menerima laporan bahwa ada 13 juta IPS yang mengandung unsur rokok di internet, dan belum ada undang-undang yang mengatur mengenai pelarangan iklan, promosi, dan sponsor tersebut.
"Untuk itu, KPAI saat ini sedang menata langkah untuk membentuk kelompok kerja (pokja) dan mengkaji bagaimana agar RUU Kesehatan sejalan dengan perlindungan anak," kata Jafra.
Senada dengan Jafra, Plt. Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Rini Handayani yang hadir secara daring mengatakanrokok mengganggu hak dan tumbuh kembang anak secara optimal, juga bisa menurunkan kualitas hidup anak.
"Untuk itu KPPPA mendorong implementasi dan perubahan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang mengandung Zat Aditif berupa produk tembakau bagi kesehatan, termasuk juga penegasan tentang pelarangan iklan dan promosi rokok di RUU Kesehatan," kata Rini.
Rini juga mengatakan, target penurunan prevalensi rokok di tahun 2024 adalah 8,7 persen, dan jika anak masih terpapar iklan rokok lewat pesan-pesan yang disampaikan melalui media, maka mereka lebih rentan untuk mengonsumsi rokok di usia muda.
Adapun beberapa strategi yang dilakukan oleh KPPPA diantaranya, melaksanakan kebijakan program yang dapat mengurangi paparan iklan tembakau di media cetak, elektronik, dan media sosial, dan membuka layanan berhenti merokok baik melalui quickline atau layanan lainnya.
"Penggunaan media sosial dan influencer untuk mempromosikan dampak buruk rokok serta layanan berhenti merokok dengan upaya inklusif yang melibatkan seluruh elemen masyarakat juga perlu dilakukan, karena anak-anak butuh figur di media sosial yang menjadi contoh bagi mereka untuk menjauh atau berhenti dari rokok," ujar Rini.