REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang juga Sekretaris Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Ivan Yustiavandana mengungkapkan adanya perusahaan cangkang dalam dugaan tindak pidana pencucian uang di Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Jelasnya, terdapat satu oknum yang diduga memiliki lima hingga delapan perusahaan cangkang. Perusahaan tersebut diduga dijadikan sebagai alat pencucian uang.
"Dalam daftar listnya itu selain oknum, kami sampaikan juga banyak perusahaan. Misalnya oknumnya satu, tapi perusahaannya lima, tujuh, delapan, dan seterusnya " ujar Ivan dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi III DPR, Rabu (29/3/2023).
Laporan terkait dugaan perusahaan cangkang itu merupakan salah satu data terkait transaksi keuangan mencurigakan pegawai Kementerian Keuangan. Di mana nilai transaksinya sebesar Rp 35.548.999.231.280. Transaksi tersebut melibatkan 461 entitas dari aparatur sipil negara (ASN) Kemenkeu, 11 entitas dari ASN kementerian/lembaga lain, dan 294 entitas berasal dari non-ASN.
"Karena modus pelaku TPPU itu kan selalu kita bicara, TPPU kan bicara proxy crime, orang yang melakukan tindak pidana selalu melakukan tangan orang lain, bukan diri dia sendiri," ujar Ivan.
"Sehingga kalau kami keluarkan data itu, kami justru membohongi penyidiknya, kami masukkan nama-nama perusahaan berikut oknumnya, di situ lah ketemu Rp 35 triliun," ujar Ivan yang mendampingi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD.
Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU Mahfud menyampaikan, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyampaikan data yang salah kepada Komisi XI DPR terkait transaksi mencurigakan sebesar Rp 394 triliun. Jelasnya, hal tersebut bukan dikarenakan Sri Mulyani yang ingin menipu DPR.
"Kesimpulan saya, Bu Sri Mulyani tidak punya akses terhadap laporan-laporan ini. Sehingga keterangan yang terakhir pun di Komisi XI itu jauh dari fakta, karena bukan dia nipu, dia diberi data itu, data pajak, data bea cukai, tadi penyelundupan emas itu," ujar Mahfud dalam RDPU.
"Ya tidak tahu siapa yang bohong, tapi itu faktanya," sambungnya menegaskan.
Ungkapnya, PPATK telah menyampaikan laporan hasil analisis (LHA) dugaan tindak pidana pencucian uang pada 2017. Namun rupanya, laporan tersebut tak sampai ke tangan Sri Mulyani.
"Laporan itu diberikan tahun 2017, oleh PPATK, bukan tahun 2020. Tahun 2017 diberikan tidak pakai surat, tapi diserahkan oleh Ketua PPATK langsung kepada Kementerian Keuangan yang diwakili Dirjen Bea Cukai, Irjen Kementerian Keuangan, dan dua orang lainnya," ujar Mahfud.