REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Spesialis penyakit dalam dari RSUP Kariadi Semarang, Dr dr Muchlis Achsan Udji, mengatakan, setiap tahunnya, peningkatan kasus leptospirosis selalu terjadi di musim penghujan. Bisa dipastikan, jika curah hujan tinggi kasus akan meningkat.
Namun demikian, di bulan-bulan kemarau atau kering, kasus dia sebut hampir tidak ada, terutama di Semarang. “Yang cukup menarik, pasien lesptopirosis itu ada riwayat erat kontak dengan bakteri leptos, misal ketika di daerah rawan banjir, lalu tidak terbiasa cuci tangan atau luka terbuka tidak terobati,” kata Muchlis dalam webinar daring, Rabu (8/3/2023).
Menurut dia, penyakit ini biasa muncul di daerah langganan banjir. Khusus pada 2023 ini, kata Muchlis, memang jumlah kasus kian menurun dibanding tahun-tahun lalu. Namun demikian, fatality rate jauh lebih tinggi dengan banyaknya korban jiwa.
“Jadi kota-kota yang ada genangan air banjir biasa terdampak letospirosis,” kata dia.
Dia menambahkan, penyebaran di musim penghujan kerap terjadi juga di luar daerah banjir. Menurut dia, bakteri yang biasa dibawa tikus ke rumah-rumah warga atau mobilitas warga ke dan dari daerah banjir bisa menyebabkan demam akut itu meluas.
“Sebagian pasien kami adalah petani yang berkontak erat di sawah atau mungkin kena kencing tikus yang memiliki bakteri tadi,” ucap dia.
Oleh sebab itu, pihaknya akan terus mengingatkan warga melalui Dinas Kesehatan daerah dalam penanganannya. Meski terbagi ke dalam dua jenis, leptospirosis ringan dan berat, gejala dia sebut sama saja.
“Beberapa kasus yang menyebabkan meninggal dunia akibat letospirosis berat karena komorbid seperti diabetes melitus, ginjal kronis, hati kronis, sampai penyakit lupus sistemik,” jelas dia.