Selasa 07 Mar 2023 18:15 WIB

Buntut Kasus Rafael dan Eko Darmanto, 69 Pegawai Kemenkeu Masuk Daftar Harta tak Wajar

Irjen Kemenkeu akan melakukan pemanggilan 69 pegawai itu dalam dua pekan ini.

Mantan Kepala Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto berjalan usai diperiksa di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (7/3/2023). KPK melakukan pemeriksaan terhadap Eko Darmanto untuk dimintai klarifikasi terkait Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN)  sebesar Rp15,7 miliar.
Foto:

Pakar kebijakan publik Universitas Aurlangga (Unair) Gitadi Tegas Supramudyo menilai, kasus Rafael Alun Trisambodo dengan harta kekayaan tak wajar ibarat fenomena gunung es. Artinya, kata dia, kepemilikan harta dengan nilai tak wajar di kalangan pejabat negara merupakan hal yang umum di Indonesia, namun mereka mampu menutupinya dengan melakukan berbagai rekayasa.

"Kalau kita lihat kasus ini, fakta yang muncul adalah bahwa aset-asetnya itu tidak atas namanya sendiri, tetapi atas nama orang lain atau keluarganya. Artinya, ini merupakan satu bentuk penyembunyian aset dengan rekayasa LHKPN," kata Gitadi, Senin (6/3/2023).

Gitadi melanjutkan, mencuatnya kasus Rafael juga berimbas pada menurunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah, khususnya kementerian keuangan dan jajarannya. Bahkan ia menilai kadus tersebut akan memengaruhi pendapatan pajak negara.

"Logikanya, ketika public distrust meningkat kemudian terjadi penurunan keikhlasan dan kemauan untuk membayar pajak, tentu saja akan berpengaruh," ujar Gitadi.

Secara teori, lanjut Gitadi, pengaruh public distrust terhadap pendapatan pajak negara tidak akan terjadi secara berkepanjangan. Kendati demikian, Gitadi mengingatkan pemerintah untuk melakukan upaya-upaya maksimal guna memperbaiki tingkat kepercayaan publik terhadap instansinya.

"Jajaran pemerintah juga harus melakukan upaya-upaya maksimal untuk menambal dampak negatif terhadap masalah di institusi tersebut. itu bisa menjadi berkepanjangan jika tidak ada upaya konkret dari negara," kata Gitadi.

Gitadi pun berpendapat, munculnya kasus Rafael merupakan momentum yang tepat untuk melakukan reformasi dan redesain kebijakan, khususnya terkait LHKPN. Tujuannya agar tidak ada lagi kasus penggunaan nama orang lain atau penyamaran aset.

Dalam hal ini, para stakeholders harus juga bersinergi, misalnya saja dengan kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maupun kejaksaan untuk menelusuri aset dan kekayaan terduga. Selain itu, kata dia, momentum ini juga sangat tepat untuk melakukan pemerataan keadilan bagi profesi lain sesuai dengan kontribusinya.

"Jadi, menurut saya ini momentum penting untuk melakukan redesain dan reformasi, termasuk memeratakan keadilan bagi profesi lain yang juga memiliki kontribusi masing-masing, terutama di bidang pendidikan yang paling kentara kesenjangannya," kata Gitadi.

Adapun, peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Zaenur Rohman mendorong segera disahkannya Rancangan Undang-undang Perampasan Aset usai mencuatnya kasus Rafael. Keberadaan regulasi ini dinilai memudahkan untuk mencari pembuktian terhadap perolehan harta tak wajar penyelenggara negara.

Zaenur mengatakan, jika RUU Perampasan Aset hasil kejahatan disahkan maka Illicit Enrichment (peningkataan kekayaan secara tidak sah) dan juga penambahan kekayaan secara tidak wajar dan harta yang tidak dapat dijelaskan asal-usulnya itu harus dibuktikan oleh penyelenggara negara.

"Penyelenggara harus membuktikan harta tersebut berasal dari perolehan yang sah. Kalau gagal maka kemudian harta itu akan disita oleh negara," ujar Zaenur dalam keterangannya kepada Republika, Ahad (5/3/2023).

Zaenur mengatakan, regulasi ini dapat mengatasi kesulitan penegak hukum saat ini untuk mencari bukti perolehan harta tak wajar penyelenggara negara, seperti Rafael. Saat ini, penegak hukum harus dapat menemukan alat bukti untuk menjerat penyelenggara negara yang hartanya tak wajar, baik melakukan korupsi maupun menerima suap.

"Kalau ada penyelenggara negara hartanya jumbo, rekeningnya gendut yaitu bukan suatu pelanggaran hukum kecuali aparat penegak hukum punya alat bukti yang bisa menunjukkan bahwa penyelenggaraan penyelenggara negara tersebut melakukan korupsi atau pencucian uang," ujarnya.

Sebab, saat ini penambahan harta tak wajar bukan merupakan tindak pidana. Sedangkan, dengan RUU Perampasan Aset beban pembuktian harta kekayaan dibebankan oleh penyelenggara negara.

Karena itu, RUU Perampasan Aset dibutuhkan untuk menjerat penyelenggara negara yang hartanya tidak jelas asal-usulnya.

"Jadi tidak harus mencari alat bukti apa yang menunjukkan bahwa seorang penyelenggara negara itu menerima suap, tidak. Cukup memberi kesempatan kepada penyelenggara negara untuk membuktikan bahwa harta tersebut berasal dari perolehan yang sah, gagal membuktikan disita untuk negara," ujar Zaenur.

 

photo
Pasal Sangkaan untuk Mario Dandy Berubah - (Infografis Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement