REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy, mengungkapkan, penanganan stunting dan kemiskinan ekstrem harus ditangani secara terpadu dan beriringan. Sebab, Muhadjir menjelaskan, keluarga miskin ekstrem memiliki potensi stunting yang besar.
"Keluarga miskin ekstrem itu memiliki potensi stunting yang besar. Artinya kalau menangani kemiskinan ekstrem akan menyelesaikan stunting juga. Karena itu intervensinya harus beriringan juga," kata Muhadjir dalam keterangan pers, Selasa (7/3/2023).
Hal itu dia sampaikan dalam seri Roadshow Percepatan Penurunan Stunting dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem Kaltara, Senin (6/3/2023). Lebih lanjut, Muhadjir mengatakan, intervensi sensitif dan spesifik untuk mengatasi kedua masalah tersebut sebenarnya mirip.
"Dalam arti intervensi spesifik adalah berkaitan dengan kondisi medis, kesehatan ibu, bayi, dan remaja untuk mencegah stunting. Dan intervensi sensitif seperti sanitasi ketersediaan air bersih, air minum, keterbatasan alat komunikasi atau sarana transportasi," kata dia.
Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara), yang berbatasan dengan Malaysia, merupakan salah satu provinsi termuda di Indonesia. Sebagau provinsi ke-34 dan terbentuk pada 2012, daerah itu cukup progresif dalam menangani masalah sosial kemiskinan ekstrem dan stunting.
Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022, angka stunting di Kaltara 22,1 persen. Angka tersebut mengalami penurunan cukup signifikan, yakni 5,4 persen, dari sebelumnya pada 2021 sebesar 27,5 persen.
Sementara, angka kemiskinan ekstrem di Kalimantan Utara pada tahun 2022 makin mendekati nol persen. Yakni, sebesar 0,63 persen, turun sebesar 0,23 persen dari 0,86 persen pada tahun 2021.
Gubernur Kaltara, Zainal Arifin Paliwang, mengatakan, pemerintah daerah berupaya serius dalam rangka penghapusan kemiskinan. Langkah itu dilakukan dengan kolaborasi multi pihak, baik pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, desa/kelurahan dan lembaga-lembaga non-pemerintah.
Dia mengatakan, penurunan angka stunting dan kemiskinan ekstrem di Kaltara membuat provinsi ke-34 ini optimis dapat mencapai target nasional pada tahun 2024, yakni nol persen kemiskinan, dan 14 persen prevalensi stunting.
Angka nasional kemiskinan ekstrem, menurut BPS, pada Maret 2022 sebesar 2,04 persen atau 5,59 juta jiwa, menurun dari data Maret 2021 yang sebesar 2,14 persen atau 5,8 juta jiwa. Sedangkan angka stunting 2022, menurut SSGI, 21,6 persen, turun dari 2021 sebesar 24,4 persen.
Zainal menjelaskan, masih ada masalah yang menghambat dalam menurunkan angka stunting dan kemiskinan ekstrem, seperti kurangnya sarana prasarana, masalah sumber daya manusia, serta terbatasnya akses transportasi di wilayah Kalimantan Barat.
“Terbatasnya sumber daya manusia ini memang masih banyak tempat kami (Kaltara) yang belum memiliki akses darat, laut, maupun sungai. Bahkan, ada beberapa daerah yang harus menggunakan moda transportasi udara,” jelas Zainal.
Untuk dapat menjangkau layanan warga di pedalaman yang bisa dijangkau transportasi air, Gubernur Zainal juga meminta pemerintah pusat membantu dengan ambulans air. Sarana ini menjadi trasportasi pasokan makanan, serta bisa membantu warga untuk dirujuk ke fasilitas kesehatan atau rumah sakit terdekat.
Kabupaten Nunukan adalah salah satu kota/kabupaten yang mengalami kenaikan prevalensi stunting. Tercatat, prevalensi stunting di wilayah tersebut mencapai 30,5 persen. Penyebabnya, partisipasi masyarakat dalam pemantauan tumbuh kembang anak di posyandu rendah. Konsumsi masyarakat juga tidak menggunakan pola gizi seimbang, serta banyak wilayah terpencil.
Lain halnya dengan Kota Tarakan yang berhasil munurunkan angka stunting dari 25,9 persen menjadi 15,4 persen. Sehingga prevalensi stunting di Kota Tarakan 2022 lebih rendah dari Kaltara, bahkan mendekati target nasional 14 persen.
Meskipun begitu, angka kemiskinan di Kota Tarakan justru masih tergolong cukup tinggi. Tercatat angka kemiskinan di wilayah tersebut sebesar 6,30 persen. Hal itu disebabkan belum adanya kesesuaiaan data serta belum optimalnya pemberian bantuan sosial.
Kaltara yang merupakan “etalase negara”, karena perbatasan dengan Malaysia. Letak gegrafis ini menjadikan Kaltara sebaga tempat transit dan migrasi penduduk. Padahal, ketersediaan layanan dasar di sana masih terus dipacu, seperti pasokan makanan, air bersih, dan sanitasi.