Jumat 03 Mar 2023 10:40 WIB

Menunggu Eksisnya Hakim Profetik dalam Dunia Hukum Indonesia

Hakim profetik diharapkan eksisnya keadilan dalam masyarakat

Suasana persidangan. (ilustrasu).
Foto:

Kebebasan Hakim

Contoh vonis seperti yang terjadi dalam kasus pembunuhan Brigadir Joshua, dimana pelaku pembunuhnya memperoleh hukuman ringan telah ada sejak zaman nabi Muhammad SAW. Dikisahkan pernah suatu hari ada pembunuh yang ditangkap lalu diberi hukuman mati (Qisas) oleh nabi. Tetapi dalam kisah lain, diceritakan Nabi Muhammad memaafkan Wahsyi Bin Harb yang telah membunuh paman beliau bernama Hamzah Bin Abdul Muththalib. Dalam hal ini Nabi bersabda: 

“Barang siapa bersedekah dengan nyawa (tidak menuntut qishas, tapi memberi maaf pembunuh) atau lainnya, maka menjadi kafarat (pelebur dosa) baginya sejak hari ia dilahirkan sampai kepada ia bersedekah.” (HR. Abu Ya’la).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Indonesia memberi ruang kebebasan bagi hakim untuk membuat putusan sesuai keyakinannya dengan dukungan minimal 2 (dua) alat bukti. Salah satu dasarnya adalah Pasal 193 ayat (1) yang hanya menyatakan Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, pengadilan menjatuhkan pidana. 

Ada banyak variabel yang perlu diperhatikan untuk melihat konsep kebebasan hakim dalam memutus sebuah perkara. Prof. Dr. M. Syamsudin SH., MH. mencatat beberapa variabel yang mempengaruhi kebebasan hakim di antaranya adalah variabel non-hukum. Misalnya faktor budaya, moral kepribadian hakim, kekuasaan, bahkan opini publik.

Profetik

Beragam variabel sosial yang ikut andil dalam mempengaruhi kebebasan hakim untuk memutuskan hukuman mengharuskan para Hakim memiliki orientasi berhukum yang mapan. Perlu diingat, putusan pengadilan sesungguhnya tidak melulu soal menegakkan pasal-pasal pada undang-undang. Tetapi terkandung di dalamnya nilai-nilai dasar tujuan hukum, yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.

Banyak pakar hukum memercayai hilangnya ketiga nilai dasar tersebut adalah penyebab terpuruknya hukum di Indonesia. Seluruh penegak hukum perlu bekerja dengan sungguh-sungguh supaya keterpurukan itu tidak menjadi krisis hukum. Situasi di mana rakyat tidak lagi percaya pada hukum sehingga hukum kehilangan komandonya mengendalikan proses-proses sosial, politik, ekonomi, dan lain sebagainya.

Situasi kacau seperti itu hanya bisa ditangani oleh para penegak hukum dengan pendekatan-pendekatan alternatif seperti yang terlihat dari cara berpikir hakim yang mengadili kasus pembunuhan Brigadir Joshua ini. Vonis putusan hakim sama sekali tidak kaku mengacu pada tuntutan jaksa.

Meski berbeda dengan tuntutan jaksa, justru putusan terasa lebih kuat empatinya terhadap korban. Bisa jadi putusan seperti ini adalah putusan yang disebut oleh Busjro Muqoddas sebagai putusan hakim berparadigma filsafat hukum profetik. Putusan yang bukan sekadar menentukan salah-benar, atau menghukum-membebaskan terdakwa dari pendekatan normatif, melainkan berisi secara padat nilai moral sebagai hasil dari dialektika antara realitas fakta (konteks) terhadap teks (undang-undang).

Putusan demikian hanya bisa dihasilkan oleh mereka yang memiliki kecerdasan kenabian (Profetic Intelligent). Hamdani Bakran mendefinisikannya sebagai kemampuan seseorang untuk mentransformasikan diri berinteraksi, bersosialisasi, beradaptasi dengan lingkungan vertikal dan horizontal serta dapat memahami, mengambil manfaat, hikmah dari kehidupan langit dan bumi, jasmani dan rohani, lahir dan batin, dunia dan akhirat.

Hakim yang memiliki paradigma profetik diharapkan juga akan melahirkan keadilan profetik. Keadilan seperti yang tertulis pada setiap irah-irah putusan pengadilan, yaitu ”demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa”. Kini putusan hakim atas perkara ini tengah diajukan banding. Tidak menutup kemungkinan akan naik juga sampai ke kasasi di Mahkamah Agung. Apakah hakim-hakim yang akan mengadilinya memiliki paradigma yang sama? Wallahualam.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement